Nasir Tamara muda memberanikan diri ke kantor Ford Foundation, suatu hari di awal 1980-an. Tekadnya hanya satu, ia butuh dana untuk belajar Islam dan politik. Ia ingin Ford Foundation mensponsori studinya.
Tapi, ia keluar kantor dengan tangan kosong. Pemerintah Amerika Serikat, yang menyokong dana Ford Foundation, menolak permohonannya. ”AS tidak tertarik dengan Islam,” kata Nasir, mengenang peristiwa itu, pada Washinton Post , baru-baru ini.
Selidik punya selidik, penolakan Ford Foundation ada hubungannya dengan Presiden AS saat ini, Barack Obama. Hubungan itu lewat mendiang ibu si Presiden, Ann Dunham. Ann adalah antropolog AS yang sudah menetap lebih dari satu dekade di Indonesia.
Riset Ann di Indonesia, yang tentu dilirik oleh AS, tidak mengutamakan bidang politik maupun agama. Dua bidang itu, menurutnya, terlalu sensitif. Apalagi saat itu Indonesia dikuasai oleh penguasa, yang menurutnya, berpaham sekuler. Riset Ann fokus pada pembangunan ekonomi.
Seandainya Nasir Tamara datang ke Ford Foundation pascapenyerangan World Trade Center, 11 September 2001, situasinya pasti lain. Bisa jadi ia benar-benar dibiayai studi di AS.
Washington Post mencatat, pendekatan AS terhadap Islam di Indonesia mengalami perubahan besar-besaran setelah menara kembar itu dihantam dua pesawat. AS menyediakan dana untuk ‘mencetak’ Muslim moderat.
Pemerintah Paman Sam menerbangkan ratusan ulama Indonesia untuk ikut kursus tentang Islam moderat di AS. Mereka menerbitkan buku panduan khutbah. Memberi garis besar isu-isu khutbah. Bahkan, salah satu organisasi swasta di AS mencoba membuatkan materi khutbah Jumat untuk para ulama Indonesia.
Dalam skala tertentu, apa yang dilakukan AS di awal dekade 2000-an terhadap Islam di Indonesia, meniru strategi perang dingin mereka terhadap komunisme dan Uni Sovyet. Kala itu, AS ‘jor-joran’ menyokong program pendidikan dan budaya antikomunisme.
Hal yang sudah dilakukan The Asia Foundation di sini. Yayasan yang disokong resmi oleh Pemerintah AS, tapi lewat saluran dana rahasia. The Asia Foundation bekerja sama dengan USAID membiayai program ‘Islam and Civil Society’ di Indonesia. ”Kami ingin menantang pemikiran Islam garis keras,” kata Ulil Abshar Abdalla, intelektual muda yang mendirikan Jaringan Islam Liberal di 2001. The Asia Foundationlah yang menyediakan dana bagi Ulil untuk mendirikan JIL.
Lewat dana itu, JIL bisa siaran mingguan di salah satu radio swasta. Tema siaran tentu saja mengkritisi interpretasi literal yang biasa dilakukan Islam garis keras. JIL juga sempat membuat program televisi yang memperlihatkan Islam warna-warni di Indonesia. Tak lupa mereka menyebarkan selebaran Islam liberal di sejumlah masjid.
Pemerintah AS benar-benar ‘kepincut’ model moderat Ulil. Ia diterbangkan ke Washington pada 2002. Di ibu kota negara ini, Ulil bertemu barisan pejabat penting. Mulai dari Depdagri AS hingga Pentagon. Ia berdialog dengan Paul D Wolfowitz, saat itu wakil Menteri Pertahanan AS dan mantan duta besar AS di Indonesia.
Tapi, pendekatan kultural ala perang dingin ini gagal total. Justru gara-gara JIL muncul, lebih banyak lagi umat Muslim konservatif yang benci pada AS. Mereka menilai AS bermain di air keruh, mencoba mengoyak-ngoyak akidah Islam.
Ini ditambah hadirnya perang Irak. ”Perang Irak ‘menghancurkan semuanya’,” kata Ulil, yang mulai menerima ancaman dibunuh setelah mendirikan JIL. Reaksi keras terus bertebaran. Majelis Ulama Indonesia malah menolak paham JIL. MUI mengeluarkan fatwa untuk menolak sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.
Buntutnya kembali ke uang. The Asia Foundation tak lagi mengucurkan dana bagi JIL. Mereka mengubah strateginya. Masih tetap menyediakan dana bagi organisasi Islam lokal, tapi menghindari isu keagamaan yang sensitif.
Dana akan mengucur bila ada proposal seperti pelatihan pengawasan anggaran, pemberantasan korupsi, hingga penanganan kemiskinan. ”Yayasan menilai perdebatan pemikiran Islam di Indonesia akan lebih maju tanpa keterlibatan organisasi internasional,” kata Kepala Kantor The Asia Foundation Jakarta, Robin Bush.
Menurut Washington Post , Pemerintah AS selalu memerhatikan arah angin Islam di Indonesia. Betapa tidak. Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Jumlah penganut Islam di nusantara lebih banyak dari jumlah seluruh penduduk negara Teluk Persia.
”Ini adalah pertarungan ide. Pertarungan masa depan Indonesia,” kata Kepala USAID Jakarta, Walter North. Pertarungan ini mencuatkan pertanyaan penting: Cukupkah AS hanya mengamati perkembangan Islam di Indonesia, atau terjun langsung dan mempromosikan Muslim sesuai keinginan AS.
Secara garis besar, menurut Washington Post , perkembangan di Indonesia sesuai dengan arah yang diinginkan AS. Ini terlihat dari sejumlah gejala. Misalnya, terorisme yang melibatkan Islam. Ketika salah satu tersangka peledakan bom Ritz Carlton, Juli 2009, ditembak mati oleh Detasemen Khusus 88 (yang dilatih oleh AS). Warga desa tempat korban dilahirkan menolak jenazah dimakamkan di desa itu.
Lantas protes keras Front Pembela Islam terhadap kedatangan bintang porno asal Jepang, Maria Ozawa. Menurut AS, FPI tidak lagi ambil pendekatan kekerasan dengan menghancurkan bar, klub malam, atau hotel, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.
Derajat kebencian publik Indonesia ke AS terkait perang Irak pun diklaim turun. Salah satu faktor pendukungnya adalah hengkangnya George W Bush dan naiknya Barack Obama. Pada 2003, tahun pertama perang Irak, 15 persen orang Indonesia yang disurvei oleh Pew Research Center mendukung AS. Bandingkan dengan 75 persen dukungan sebelum Bush menjabat. Posisi dukungan sekarang, setelah Obama memerintah, ada di level 63 persen.
Menurut Washington Post , sejumlah faktor penting ikut andil memengaruhi perbaikan citra AS ini. Pertama, ekonomi Indonesia yang relatif baik di tengah krisis keuangan. Kedua, suksesnya pemilu yang bebas dan adil. Ketiga, kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono, jenderal lulusan AS, yang merangkul partai Islam dalam koalisinya.
Sementara menurut Masdar Mas’udi, ulama senior di Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di dunia, faktor lain adalah kebijakan AS yang tidak lagi mencampuri urusan agama di Indonesia.
”Intervensi AS terhadap urusan agama di Indonesia justru memicu lawan tanding. Bahkan, memperkuat mereka. Makanya, ada perubahan di kebijakan AS. Sekarang mereka menyasar ke pengentasan kemiskinan, terutama petani Muslim,” katanya.
Kepala USAID di Indonesia, Walter North, menambahkan, sekarang bukan lagi saatnya ikut campur masalah agama. ”Kita terjun untuk langsung memecahkan masalah riil di Indonesia, yaitu kemiskinan dan memberantas korupsi. Mencoba melahirkan generasi pemimpin Muslim seperti yang diinginkan AS tidak laku lagi,” katanya.
sumber: Republika, (26/3/2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar