DEISLAMISASI penulisan Sejarah Nasional Indonesia suatu sistem penulisan sejarah yang meminggirkan peranan ulama atau pimpinan Islam serta penegatifan nilai kejuangan umat Islam. Hal ini terjadi setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Jumat Legi, 9 Ramadan 1364 Hijriah, ulama menswastanisasi diri mereka dengan tidak terlibat dalam penguasaan departemen, lembaga, kantor dari pemerintah Indonesia. Selain itu, tidak ada perhatian untuk mendirikan Lembaga Sejarah dan memikirkan permasalahan arsip nasional, museum sejarah, kurikulum sejarah. Para ulama mensterilisasikan diri mereka dari campur tangan problema kekuasaan.
Para ulama membebaskan diri dari permasalahan administrati pemerintahan. Mereka memercayakan kepada kebijakan pejabat pemerintahan yang sudah dikuasai bangsa sendiri. Hal itu juga terjadi juga diakibatkan pengaruh proklamasi yang awalnya berhasil menghilangkan silang sengketa politik pada masa Kebangkitan Kesadaran Nasional 1900-1942. Terlupakannya dan terfokus menghadapi musuh bersama, common enemy, sekutu dan Belanda. Ulama lebih memilih di medan perang ketimbang duduk di departemen pemerintahan dan kantor pemerintahan. Seusai perang kemerdekaan, mereka kembali ke pesantren dan menjadikan pesantren mandiri. Mereka lebih merasa mulia jika tidak bergantung kepada pejabat pemerintah. Hilangnya orientasi kekuasaan (Q.S. 2 : 30) berdampak meluas pada segenap aspek kehidupan umat Islam, terutama deislamisasi sejarah sehingga menghilangkan kesadaran sejarah. Generasi muda Islam kehilangan pemikiran dan pijakan keindonesiaan mereka. Hal ini terjadi sebagai dampak lanjut ulama melakukan "pemindahan kekuasaan" dari pemerintah kolonial kepada orang yang ideologinya menentang Islam.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, segera dibentuk pemerintahan, mulai dari presiden, menteri kabinet, dirjen departemen, gubernur hingga lurah. Saat itu, ulama kurang berselera duduk dalam jabatan pemerintahan. Alasannya, pada masa pendudukan bala tentara Jepang, para ulama mendapatkan porsi pimpinan kemiliteran, menjadi tentara Pembela Tanah Air (Peta) dan Lasykar Hizbullah. Tidak mendapatkan kesempatan menduduki pamong praja. Dapat dipahami jika kedudukan kepamongprajaan dipegang oleh mantan pangreh praja masa kolonial Belanda. Kelompok pangreh praja yang dididik oleh penjajah bersikap tidak simpati pada Islam atau ulama sebagai kekuatan politik. Dengan adanya pemindahan kekuasaan yang demikian ini, terjadilah penegatifan peran ulama dan umat Islam dalam penulisan sejarah Indonesia.
Pandangan ulama
Setelah Mohammad Yamin sebagai penganut Tan Malakais yang berhaluan Marxist sebagai Menteri P dan K, mulailah penulisan deislamisasi sejarah. Diawali penulisan laporan dokumen pidato pertemuan Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan (BPUK), 1 Juni 1945, pada zaman pendudukan Jepang. Yang dituliskan hanya pidato Bung Karno, Bung Hatta, Mohammad Yamin. Tidak seorang pun pandangan ulama yang ikut urun pikir dituliskan di dalamnya. Dalam buku Mohammad Hatta Memoir, Hatta menyatakan, ketidakbenaran tulisan laporan M. Yamin tersebut, terutama isi pidato M. Yamin.
Demikian pula dalam tulisan tentang "Sumpah Indonesia Raya". Dituliskan adanya dua kerajaan yang melahirkan kesatuan bangsa dan negara. Pertama, Kerajaan Buddha Sriwijaya, dengan "Sumpah Bukit Barisan", melahirkan negara kesatuan pertama. Kedua, Kerajaan Hindu Majapahit, dengan "Sumpah Bukit Penanggungan", melahirkan kesatuan bangsa dan negara kedua. Ketiga, "Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928", di Jakarta, melahirkan negara proklamasi Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Dari ketiga proses sejarah di atas ini, M. Yamin meniadakan peranan Islam di dalamnya atau deislamisasi tulisan sejarahnya. Padahal, dalam realitas sejarah, umat Islam dan ulama dengan "Sumpah Syahadat" sebagai pelopor perlawanan terhadap penjajah Barat. Sebaliknya, kedua kerajaan Hindu dan Buddha tersebut telah tiada ketika penjajahan Barat mulai mendera Indonesia.
Politik penulisan sejarah deislamisasi dari M. Yamin juga dapat dilihat dari cara melukiskan peristiwa sejarah dalam "Lukisan Sejarah". Di dalamnya, terdapat lukisan peristiwa sejarah umat Islam yang tidak realistis. Dalam melukiskan "Sejarah Indonesia", dari 110 lukisan, "Sejarah Islam Indonesia" hanya ada dalam 28 lukisan atau hanya empat persen. Dalam penuturan "Sejarah Dunia", dilukiskan 90 dari 442 lukisan atau lima persen. Politik penulisan sejarah dari Menteri P dan K yang demikian ini, besar pengaruhnya terhadap penulisan sejarah selanjutnya.
Misalnya, Drs. Soeroto, "Indonesia di Tengah-tengah Dunia dari Abad ke Abad", jilid 1, Penerbit Djambatan, cetakan 1955-1962. Di dalamnya terdapat kisah prasejarah delapan halaman. Sejarah India menuturkan prasejarah India, agama Hindu dan Buddha sebanyak 32 halaman. Sementara agama dan kerajaan Islam hanya delapan halaman. Anehnya lagi, Khulafaurrasyidin hanya dituliskan namanya dan tahun pemerintahannya, tanpa ada penjelasannya. Abubakar (tahun 632-634 M), Umar (634-644 M), Usman (644-656 M), dan Ali (tahun 656-661 M).
Sebaliknya, sejarah Tiongkok dari halaman 50-101, diikuti sejarah Indonesia-Hindu dari halaman 107-149 atau 42 halaman. Dari perbandingan penulisan sejarah di atas, Islam di Indonesia ditiadakan dan Islam di Timur Tengah dan India dituliskan hanya delapan halaman dari 149 halaman. Buku sejarah ini digunakan para pelajar SMA yang mayoritas beragama Islam. Politik penulisan sejarah yang demikian ini, Islam dipinggirkan dan ditanamkan rasa kebanggaan terhadap Hindu, Buddha, dan Kong Fu Tsu.
Politik penulisan
Hal demikian ini terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), politik penulisan sejarahnya bertumpu pada pemikiran deislamisasi sejarah. Kebijakan penulisan sejarah untuk madrasah dari Departemen Agama mengikuti kebijakan P dan K dan Depdiknas. Dampak lanjutnya terhadap penentuan kalender pun terjadi deislamisasi. Kalender Masehi diutamakan dan kalender Hijriah dikerdilkan pencetakannya.
Kalender ditentukan pemerintah berdasarkan kalender Masehi. Kalender tahun Hijriah dengan bulan kamariah hanya dijadikan dasar penentuan hari besar Islam. Bukan dijadikan landasan orientasi waktu kerja dan kurikulum studi. Huruf nama bulan, huruf nama hari, angka tanggal, angka tahun Masehi dicetak jauh lebih besar. Sementara huruf nama bulan, tahun Hijriah, bulan kamariah, angka tanggal Hijriah sangat kecil sekali. Walaupun kalender itu dikeluarkan Kantor Wilayah Departemen Agama Jabar, tahun Masehi lebih besar ketimbang tahun Hijriah.
Kebijakan deislamisasi kalender Depag Jabar di atas berpengaruh luas kepada masyarakat Islam. Misalnya, pengaruhnya terhadap majalah Al Kisah yang Islami, tetapi tidak mau menggunakan bulan dan tahun penerbitannya dengan tahun Hijriah dan bulan kamariah. Misalnya, dapat dibaca, majalah Kisah Islam al Kisah, No. 25/tahun VII/14-27 Desember 2009/Rp 15.000,00. Walaupun majalah Al Kisah ini memuat tuntunan doa akhir tahun dan permulaan tahun Hijriah, penulisan tahun Masehi lebih ditonjolkan. Demikian juga majalah Islam lainnya, seperti Khalifah, tetap saja menulis edisi 16 November 2009, tampak lebih besar ketimbang tahun Hijriahnya.
Penulis pernah melihat spanduk tempat pendaftaran haji dari KBIH Bandung. Dituliskan pendaftaran calon haji tahun Masehi, tanpa disertakan bulan kamariah dan tahun Hijriahnya. Padahal, haji terjadi setiap 9 Zulhijjah. Hal ini semuanya terjadi akibat ulama membiarkan kekuasaan atau pemerintah "dipindahkan" kepada pihak yang tidak berorientasi Islam secara kafah. Barangkali, contoh-contoh di atas terjadi akibat kehilangan kontak sejarah yang pernah dirintis ulama terdahulu, seperti H.O.S. Tjokroaminoto tentang proses perlunya kekhalifahan atau kekuasaan yang Islami.
H.O.S. Tjokroaminoto dalam membangkitkan kesadaran nasional umat Islam Indonesia merumuskan langkah dalam paradigma Lima-K, yaitu kemauan, kekuatan, kemenangan, kekuasaan, dan kemerdekaan. Untuk menjadikan umat Islam sebagai kekuatan pendobrak pemerintah Belanda, diutamakan kemauan untuk merdeka. Dari kebangkitan kemauan, akan berdampak pada kekuatan, dengan kekuatan akan diperoleh kemenangan.
Setelah kemenangan, umat Islam harus menduduki kekuasaan. Tanpa menduduki kekuasaan, tidak akan memperoleh kemerdekaan. Kemerdekaan politik dan terbebas dari penjajah.
Setelah kemenangan, umat Islam harus menduduki kekuasaan. Tanpa menduduki kekuasaan, tidak akan memperoleh kemerdekaan. Kemerdekaan politik dan terbebas dari penjajah. Tanpa memperoleh kemerdekaan politik dengan kekuasaannya, tidak mungkin dapat menciptakan kemerdekaan sejati, yakni kemakmuran untuk seluruh bangsa. (PurWD/Pikiran rakyat)
* Penulis: Ahmad Mansur Suryanegara (Sejarawan Islam Unpad Bandung dan Penulis Buku API SEJARAH), dengan judul Terjadi Pengerdilan Sejarah Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar