Nikah siri terus jadi polemik. Konon katanya merugikan anak-anak dan perempuan. Bagaimana pandangan Islam, khususnya sikap para muslimah terhadap persoalan ini? Berikut wawancara HTI Press dengan Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Ir Febrianti Abbasuni, MM.
Ada yang membuat masyarakat bertanya-tanya mengenai apa yang sebenarnya ada di balik polemik mengenai nikah siri yang diangkat oleh banyak media massa dua minggu terakhir. Setelah menjadi pembicaraan hangat, Detik.com memberitakan bahwa tanggal 19 Februari 2010 yang lalu Menteri Agama menyatakan bahwa RUU HMPA tidak ada. RUU tersebut dikatakan berisi sanksi pidana pelaku nikah siri, sehingga dikenal sebagai RUU Nikah Siri. Menurut Detik.com, pernyataan ini bertentangan dengan pernyataannya tanggal 16 Februari 2010, yang membenarkan bahwa RUU itu telah masuk Prolegnas. Pada hari yang sama, Direktur Bimas Islam Depag menyatakan RUU Nikah siri yang mengatur pencatatan pernikahan secara resmi sudah setahun berada di Setneg. Bagaimana pendapat ibu mengenai hal ini?
Dengan tidak menafikkan adanya pihak lain yang berupaya mengalihkan perhatian publik dari skandal Bank Century, pihak yang paling berkepentingan memblow up polemik nikah siri tentu saja adalah LSM-LSM Liberal antek penjajah kapitalisme. Kita tahu mereka berupaya menjadikan HAM dan demokrasi kapitalisme sebagai kitab suci baru bagi kaum muslimin di Indonesia. Mereka mewajibkan pemahaman kaum muslimin terhadap Al Qur’an dan hadist tunduk pada pemahaman HAM dan demokrasi yang mereka dapatkan dari penjajah. Kita tahu mereka punya target melepaskan keterikatan kaum muslimin terhadap syariah dalam kehidupan berkeluarga, sekaligus menghancurkan ketundukan muslimah kepada Allah dengan mengajak muslimah mengagungkan ego keperempuanan mereka. Untuk mencapai targetnya, mereka melakukan upaya struktural maupun kultural.
Secara struktural mereka berupaya meliberalkan perundang-undangan terkait perempuan dan keluarga di Indonesia, antara lain melalui UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU HMPA, UU Kesehatan, UU Administrasi Kependudukan, UU Kewarganegaraan, dan lain-lain. Upaya struktural mereka yang pertama kali diketahui publik di tahun 2004 adalah pengajuan Counter Legal Draft yang nyata sarat nilai liberal terhadap Kompilasi Hukum Islam, mengatasnamakan Departemen Agama. Seiring kecaman keras dari tokoh-tokoh agama dan masyarakat luas saat itu, Menteri Agama menarik draft tersebut. Tentu saja mereka tidak berhenti berupaya, karena dana dari penjajah masih mengalir bagi mereka sampai saat ini. Hanya, sejak kejadian di tahun 2004 tersebut, langkah-langkah mereka jadi lebih tertutup, draft-draft yang mereka siapkan tidak mudah lagi didapatkan publik. Karenanya tidak aneh, draft RUU HMPA di Depag jadi kelihatan misterius seperti yang diberitakan detik.com.
Secara kultural mereka berupaya menggugat dan menumbuhkan kebencian terhadap hukum-hukum Islam, dan pada saat yang sama menanamkan ketundukan terhadap HAM dan demokrasi kapitalisme melalui lembaga-lembaga pendidikan termasuk pesantren, forum-forum diskusi, pelatihan-pelatihan, dan lain-lain, termasuk melalui media massa. Agar mereka mendapatkan perhatian masyarakat, mereka selalu memanfaatkan media massa untuk memblow up berita yang menimbulkan pro dan kontra, dan pada saat itulah aktivis LSM Liberal ini ditampilkan media massa untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran liberal mereka. Ini juga yang terjadi dalam polemik nikah siri yang baru lalu. Satu tahun yang lalu hujatan terhadap nikah siri diangkat melalui berita nikah sirinya artis, tahun ini diangkat melalui issue RUU HMPA. Mereka sibuk mengajak menghujat nikah siri yang halal, sementara perzinahan mereka diamkan bahkan mereka dorong untuk difasilitasi.
Bagaimana menghadapi LSM-LSM liberal ini?
Seharusnya kejadian ini membuat kita semakin menyadari inilah keburukan demokrasi, kita dipaksa menghargai dan hidup berdampingan dengan pihak yang secara aktif berupaya merusak aqidah umat. Selama kita masih hidup dalam sistem demokrasi yang membiarkan nilai haq dan batil sama-sama hidup bebas, yang bisa kita lakukan adalah terus mewaspadai gerak mereka, menjelaskan kesalahan pemikiran mereka dan menjelaskan syariah kepada umat, begitu terus tidak boleh berhenti. Langkah lain yang tidak boleh ditinggalkan adalah mengganti sistem demokrasi dengan Khilafah yang menghargai dan menaungi perbedaan dalam koridor perbedaan yang dibolehkan Al Qur’an dan Hadist, sehingga LSM-LSM liberal antek penjajah tidak bisa hidup di tengah-tengah umat.
Bagaimana seharusnya mensikapi nikah siri?
Nikah siri adalah nikah yang memenuhi rukun pernikahan, sehingga merupakan pernikahan yang sah, namun belum dicatat oleh negara karena berbagai alasan. Pencatatan pernikahan tidak termasuk rukun pernikahan. Karena pernikahannya sah, kita semua dan juga negara harus mengakui pernikahan ini, sama seperti pernikahan sah lain yang sudah dicatat oleh negara. Semua hukum lain yang terkait seperti kewajiban nafkah, hak waris, dan yang lain jadi berlaku setelah pernikahan terjadi secara sah, baik pernikahan itu dicatat maupun tidak dicatat.
Mengenai pencatatan pernikahan, walaupun hukumnya boleh, Rasulullah saw dan para shahabat tidak pernah melakukannya apalagi mewajibkannya, sementara pencatatan hutang dan wasiat saat itu sudah diperintahkan. Karena saat itu negara tidak mengandalkan dokumen tertulis untuk membuktikan adanya pernikahan, persaksian para saksi pernikahan bisa digunakan untuk membuktikan adanya pernikahan. Jadi, apabila misalnya seorang wanita mengadukan ke pengadilan suami atau mantan suami yang tidak memberi nafkah kepada anaknya, ia bisa membawa dua saksi yang mengetahui pernikahannya untuk membuktikan pernikahannya ke pengadilan.
Bagaimana dalam konteks saat ini, apakah sebaiknya negara mengharuskan pencatatan?
Sebaiknya difahami dulu yang lebih mendasar. Ada hal yang tidak boleh berubah sepanjang masa bahwa negara bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan pengaturan kebutuhan hidup warga negaranya. Rasulullah saw bersabda: “Seorang Imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat); ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR Bukhari Muslim). Jadi aturan diterapkan oleh negara bukan untuk mempersulit atau mengambil keuntungan dari rakyat, tapi untuk kemaslahatan dan kemudahan urusan rakyat.
Untuk melindungi rakyat terkait status anak, hak nafkah, waris, dan lain-lain, negara wajib memudahkan urusan rakyatnya. Apakah dengan pencatatan atau yang lain, yang terpenting rakyat dimudahkan dalam urusannya. Kalau memang pencatatan dianggap memudahkan urusan rakyat karena justru lebih sulit mendatangkan saksi ke persidangan ketika ada masalah, maka negara harus memudahkan pencatatan. Semua pernikahan yang memenuhi rukun pernikahan harus dicatat tanpa memungut biaya apa pun dari rakyat. Jangan dipersulit. Kapan saja mereka mau mencatatkan pernikahannya, dengan mudah mereka mendapatkan dokumen tertulis mengenai pernikahannya. Tidak perlu diharuskan, kalau mereka merasakan dokumen itu memudahkan urusan mereka, dan mendapatkan dokumen itu tidak sulit, tentu mereka berbondong-bondong mencatatkan pernikahan mereka.
Bagaimana dengan upaya mewajibkan pencatatan pernikahan dalam rangka melindungi perempuan dari efek buruk poligami atau dari trafficking perempuan dan anak-anak?
Jangan mengatasi masalah dengan menimbulkan masalah. Mewajibkan pencatatan di saat negara tidak bisa menjamin kemudahan pencatatan, kemudian memberi sanksi kepada yang tidak mencatatkan pernikahan adalah tindakan menyulitkan rakyat, tindakan dzolim. ‘Aisyah RA berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah SAW berdoa di rumahku ini: Ya Allah, semoga orang (penguasa) yang menangani perkara umatku, lalu dia memberat-beratkan mereka, maka beratkanlah dia. [Ya Allah], semoga orang yang menangani perkara umatku, lalu dia memudahkan mereka, maka mudahkankanlah dia.” (HR. Imam Muslim)
Mengenai pencegahan efek buruk poligami, nikah siri, trafficking, dan yang lain, jangan melalui pencatatan. Tetapi melalui pemberdayaan ekonomi keluarga, pencerdasan rakyat termasuk kaum perempuan, kualitas pelayanan Islami dari dan kemudahan akses ke kepolisian dan pengadilan apabila ada masalah dalam keluarga.
Dengan demikian nikah siri tidak perlu jadi polemik, ya Ustazah?
Ya. Dan memang, inilah keburukan demokrasi, kita dipaksa menghargai dan hidup berdampingan dengan pihak yang secara aktif berupaya merusak aqidah umat.
sumber : www.hizbut-tahrir.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar