Jumat, 31 Juli 2009

Metode Pemilihan, Penetapan, dan Pemberhentian Khalifah



Dalam setiap sistem pemerintahan, terdapat metode dan mekanisme dalam suksesi kepemimpinan. Metode tersebut erat kaitannya dengan konsep kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân). Kedaulatan berkaitan dengan otoritas pembuat hukum yang harus ditaati seluruh warga negara. Sedangkan kekuasaan berkenaan dengan pihak yang menjadi pelaksana dan penegak hukum.

Dalam sistem kerajaan misalnya, raja menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan sekaligus. Dialah yang memiliki otoritas sebagai pembuat hukum sekaligus penentu siapa yang menjadi penggantinya. Dalam hal ini, raja mengangkat ‘putra mahkota’, yang biasanya berasal dari keturunannya.

Sedangkan dalam sistem republik pemegang kedaulatan dan kekuasaan adalah rakyat. Konsekuensinya, semua hukum dan undang-undang menjadi otoritas parlemen yang dianggap menjadi representasi rakyat. Rakyat pula yang berhak memilih presiden atau kepala negaranya. Pemilihan itu bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat, bisa juga oleh parlemen.

Lalu, bagaimana mekanisme suksesi dalam sistem khilafah?

Umat Sebagai Pemegang Kekuasaan

Dalam sistem khilafah, antara kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân) dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’. Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hákim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi). Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt (lihat QS al-Nisa’: 59-65, 105, 115; al-Maidah: 44-50).

Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus memenuhi syarat sah (syurûth al-in’iqâd) harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan.

Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan melalui bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiat merupakan satu-satunya metode yang ditentukan oleh syara’ dalam pengangkatan khalifah.

Hadits-hadits yang berkenaan dengan bai’at menunjukkan bahwa bai’at itu diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum muslimin. Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا

Kami membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahululukan (HR Muslim).

Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah ra, ia berkata:

بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

Saya membaiat Rasulullah saw untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan memberikan nasihat kepada seluruh muslim (HR al-Bukhari).

Berdasarkan hadits-hadits tersebut seorang khalifah mendapatkan kekuasaan semata-mata dari umat melalui bai’at. Bahkan Rasulullah saw, meskipun beliau berkedudukan sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki maupun perempuan. Demikian juga yang dipraktikkan oleh al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat dari umat.

Ketentuan baiat tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara’) dalam kehidupan bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-demokrasi.

Sebagai pemimpin yang telah dibaiat oleh umat, mereka memiliki kekuasaan yang wajib ditaati. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan kepada khalifah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim dan Abu Daud).

Juga dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Barang siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah dia bersabar. Sebab, tiada seorang pun keluar (memberontak) dari penguasa sejengkal saja kemudian mati dalam keadaan demikian, maka dia mati seperti mati jahiliyyah (HR al-Bukhari).

Jelaslah bahwa dalam kaidah sistem pemerintahan Islam, kekuasaan ada di tangan syara’.

Metode Pengangkatan Khalifah

Selain menetapkan umat sebagai pemilik kekuasaan, syara’ juga menetapkan metode pengangkatan khalifah. Metode tersebut adalah dengan bai’at. Kesimpulan ini didasarkan pada baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw dan perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang khalifah. Baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw bukanlah baiat atas kenabian, tetapi baiat atas pemerintahan. Masalah baiat ini juga tercantum dalam al-Quran dan al-Sunnah.

Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka (QS al-Mumtahanah [60]: 12).

Imam al-Bukhari meriwayatkan Hadits dari Ubadah bin al-Shamit yang mengatakan:

بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

Kami telah membaiat Rasulullah saw agar mendengar dan menaatinya, baik dalam keadaan senang maupun yang tidak disenangi; dan agar kami tidak mengambil kekuasaan dari orang yang berhak; dan agar kami mengerjakan atau mengatakan yang haqq di mana saja kami berasa, tidak takut kepada Allah kepada celaan orang yang suka mencela (HR al-Bukhari).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim dan Abu Daud).

Dalam hadits lain, Rasulullah saw juga bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak khalifah. Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertaama, dan yang pertama saja. Berikanlah hak mereka, sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban terhadap urusan yang dibebeankan kepada mereka” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, dengan alafadz al-Bukhari).

Juga Hadits yang yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Sa’id al Khudri dari Rasulullah saw yang bersabda:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

Apabila dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR Muslim).

Nash-nash al-Quran dan al-Sunnah tersebut menunjukkan bahwa baiat merupakan satu-satunya metode pengangkatan khilafah. Para sahabat telah memahami perkara tersebut. Bahkan mereka telah mempraktikkannya dalam pengangkatan al-khulafâ’ al-râsyidûn.

Prosedur Praktis Pengangkatan dan Pembaitan Khalifah

Prosedur dpraktis pengangkatan dan pembaitan khalifah dapat dilaksanakan dlam bentuk yang berbeda-beda. Prosedur ini sebagaimana pernah dipraktikkan dalam al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallah ‘anhum. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal, tatacara itu termasuk dalam perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syariah. Sebab, perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan institusi kaum Muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam.

Pengangkatan Abu Bakar ra sebagai khalifah dihasilkan dari hasil musyawarah sebagian kaum Muslim di Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu, yang dicalonkan adalah Sa’ad bin Ubadah, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Umar bin al-Khaththab, dan Abu Bakar. Hanya saja, Umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah tidak bersedia menjadi pesaing Abu Bakar sehingga seakan-akan pencalonan itu hanya terjadi di antara Abu Bakar dan Saad bin Ubadah saja. Bukan yang lain. Dari hasil musyawarah itu, dibaiatlah Abu Bakar. Pada hari kedua kaum Muslim diundang ke Masjid Nabawi untuk membaiat Abu Bakar. Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah bai’at in’iqãd yang mengangkat Abu Bakar menjadi Khalifah. Sementara baiat pada hari kedua merupakan baiat taat.

Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan mengantarkannya pada kematian dan pasukan Muslim sedang berada medan perang melawan negara besar (Persia dan Romawi), beliau memanggil kaum Muslim untuk meminta pendapat mereka mengenai siapa yang akan menjadi khalifah sepeninggalnya. Proses pengumpulan pendapat itu berlangsung selama tiga bulan. Setelah Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum Muslim, beliau pun mengetahui pendapat mayoritas yang menghendaki Umar sebagai penggantinya. Maka Abu Bakar menunjuk Umar untuk menjadi khaifah sesudahnya. Penunjukan atau pencalonan itu bukanlah merupakan akad pengangkatan Umar sebagai khalifah. Sebab, sesudah wafatnya Abu Bakar, kaum Muslim datang ke masjid dan tetap membaiat Umar untuk memangku jabatan kekhilafahan. Artinya, dengan baiat inilah Umar sah menjadi kaum Muslim. Bukan dengan proses pengumpulan pendapat kaum Muslim. Juga bukan dengan proses penunjukan oleh Abu Bakar. Seandainya pencalonan oleh Abu Bakar merupakan akad kehilafahan kepada Umar, tentu tidak diperlukan baiat kaum Muslim. Apalagi terdapat nash-nash yang telah disebutkan sebelumnya yang menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi khalifah kecuali melalui baiat kaum Muslim.

Ketika Umar tertikam, kaum Muslim meminta beliau menunjuk penggantinya. Akan tetapi, Umar menolaknya. Karena terus didesak, Umar pun menunjuk enam orang yang bermusyawarah mengenai khalifah penggantinya. Keenam orang itu adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhab bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, dan Saad bi Abi Waqash. Beliau juga menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan memimpin enam orang yang telah dicalonkan itu hingga terpilih seorang khalifah dari mereka. Mereka diberikan jangka waktu tiga hari untuk membuat keputusan. Beliau berkata kepada Suhaib, “Jika lima orang telah bersepakat, dan meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah), sementara satu orang yang lain menolaknya, maka penggallah leher orang itu dengan pedang.” Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang lainnya untuk mengawal mereka. Beliau memilih Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu untuk mengadakan pertemuan.

Setelah Umar wafat dan setelah para calon berkumpul Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Siapakah di antara kalian yang mau mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik di antara kalian?” Semua diam. Lalu Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Aku mengundurkan diri.”

Abdurrahman mulai meminta pend pat mereka satu-persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masing, siapa di antara mereka yang lebih berhak. Akhirnya jawabannya terbatas pada dua orang: Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin ‘Affan. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk pendapat kaum Muslim dan menanyai siapa di antara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman melakukannya bukan hanya siang hari, tetapi juga malam hari.

Imam al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata, “Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Ia berkata,”Aku melihat engkau banyak tidur. Demi Allah, janganlah kalian banyak tidur mengabiskan tiga hari ini –yakni tiga malam—dengan banyak tidur.” Ketika orang-orang melaksanakan subuh, maka sempurnalah pembaitan Utsman. Dengan baiat kaum Mukmin itulah Utsman menjadi khalifah. Bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang tersebut.

Sesudah Utsman bin ‘Affan terbunuh, mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiat Ali bin Abi Thalib. Dengan baiat kaum Muslim itu pula Ali menjadi khalifah.

Bertolak dari tatacara pembaiatan al-khulafâ’ al-râsyidûn para sahabat itu, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kepada masyarakat. Di samping itu, syarat in’iqãd terpenuhi pada masing-masing calon. Kemudian di ambilalih pendapat Ahli Halli wa al-aqdi di antara kaum Muslim, yaitu yang merepresentasikan umat. Mereka merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa al-khulafâ’ al-râsyidûn. Siapa saja yang dikehendaki sahabat atau mayoritas para sahabat untuk dibaiat dengan in’iqãd, yang dengan itu ia menjadi khalifah, maka kaum Muslim wajib membaiat mereka dengan baiat taat. Demikianlah proses terwujudnya khilafah yang menjadi wakil umatdalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.

Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembaiatan al-khulafa’ al-rasyidun –semoga Allah meridhai mereka. Selain itu, ada dua perkara lain yang dapat dipahami pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaiatan Utsman. Dua perkara itu adalah: (1) adanya amir atau pemimpin sementara selama masa penngangkatan khalifah yang baru, dan (2) pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai batasan maksimal.

Masa Kepemimpinan Khalifah

Dalam sistem khilafah, jabatan khalifah tidak memiliki periode tertentu atau dibatasi dengan waktu tertentu sebagaimana dalam sistem republik. Selama khalifah tidak kehilangan syarat in’iqãd, berpegang teguh kepada syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah. Hal ini didasarkan peda riwayat Imam al-Bukhari dari Anas bin Malik, dari Nabi saw bahwa beliau bersabda:

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ

Dengar dan taatlah pemimpin kalian sekalipun yang memimpin adalah seorang budak hitam yang kepalanya seperti dipenuhi bisul (HR al-Bukhari).

Dari Nafi’ bin Abdullah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

Mendengar dan taat kepada seorang (pemimpin) muslim wajib dalam hal yang disulai atau dibenci selama tidak diperintahkan maksiat. Apabila diperintahkan maksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat (HR al-Bukhari).

Di samping itu, al-khulafâ’ al-râsyidûn`masing-masing telah dibaiat secara mutlak sebagaimana yang terdapat dalam sejumlah hadits. Kekhilafahan mereka tidak dibatasi dengan masa tertentu. Masing-masing dari al-khulafâ’ al-râsyidûn memimpin sejak dibaiat sampai wafat. Dengan demikian, ini merupakan ijma’ sahabat yang menunjukkan bahwa kekhilafahan tidak mempunyai masa tertentu, tetapi bersifat mutlak.

Pemberhentian Khalifah

Syara’ memang telah memberikan hak bagi umat memilih dan mengangkat khalifah. Akan tetapi, umat tidak berhak memberhentikannya selama akad baiat kepadanya dilaksanakan secara sempurna berdasarkan ketentuan syara’. Kendati demikian, bukan berarti khalifah tidak dapat berhentikan apa pun keadaannya.

Syara’ telah menjelaskan keadaan-keadaan tertentu yang khalifah dinyatakan berhenti secara otomatis, seperti hilangnya syarat-syarat sah khilafah pada dirinya. Di antara syarat sah khalifah adalah Muslim. Apabila seorang khalifah murtad, maka harus diturunkan. Demikian pula jika gila total yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, atau ditawan musuh yang tidak mungkin bisa melepaskan diri. Sebab, syarat sah khalifah adalah berakal dan merdeka.

Di samping itu, dijelaskan pula keadan-keadaan tertentu yang khalifah harus diberhentikan oleh mahkamah madzãlim, seperti ketika ia tidak dapat melaksanakan tugasnya karena suatu sebab atau kehilangan ‘adâlah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan secara terang-terangan.

Termasuk pula jika seorang khalifah menampakkan kekufuran yang nyata, semisal hendak mengubah undang-undang negara yang berasal dari syariah menjadi undang buatan manusia. Dari ‘Auf bun Malik, bahwa Rasulullah saw bersabda:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian, kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruknya pemimpin adalah kalian benci mereka dan mereka pun membeci kalian, kalian laknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Ditanyakan kepada beliau, “Apakah tidak kami perangi saja mereka dengan pedang?” Rasulullah saw menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim).

Yang dimaksud dengan ‘menegakkan shalat’ dalam hadits ini adalah menegakkan hukum-hukum Islam. Ini sejalan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit. Bahwa kekuasaan harus dicabut dari penguasa yang menampakkan kekufuran yang nyata. Dari ‘Ubadah bin al-Shamit ra, berkata:

بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

Kami membaiat untuk mendengar dan taat dalam yang kami senangi atau kami benci, keadaan lapang atau sempit, benar-benar kami prioritaskan, dan tidak mencabut kekuasaan dari pemegangnya, kecuali “kamu melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki dalil jelas dari Allah (HR Muslim).

Tatkala hukum Islam tidak tegakkan, bisa dipastikan akan menegakkan hukum selainnya. Selain hukum Islam adalah hukum kufur. Menelantarkan hukum Islam dan menegakkan hukum kufur merupakan kekufuran yang nyata.

Ketika Khilafah Belum Tegak

Ketentuan pengangkatan khalifah di atas berlaku pada saat khalifah sudah ada, kemudian meninggal atau diberhentikan. Apabila sebelumnya belum ada khalifah, maka wajib bagi kaum Muslim mengangkat seorang khalifah bagi mereka untuk menerapkan hukum syariah dan mengemban dakwah ke seluruh dunia

Dalam keadaan demikian, jika suatu wilayah di wilayah dunia Islam ini telah membaiat seorang khalifah dan akad kekhilafahan telah terwujud padanya, maka menjadi kewajiban bagi kaum Muslim di berbagai wilayah lainnya untuk membaiat dengan baiat taat atau baiat in’iqãd. Ini berlaku setelah terwujud akad kekhilafahan pada khalifah yang baru tersebut dengan baiat di negerinya. Hanya saja, negeri tersebut harus memenuhi empat syarat berikut:

1. Kekuasaan negeri itu merupakan kekuasaan yang hakiki atau bersifat independen, yang hanya bersandar pada kaum Muslim saja. Tidak bersandar kepada suatu negara kafir atau suatu kekuasaan kafir mana pun.
2. Keamanan kaum Muslim di negeri itu adalah keamanan Islam, bukan keamanan kufur. Artinya, perlindungan negeri itu, baik dalam negeri maupun luar negerinya, merupakan perlindungan Islam. Yakni, berasal dari kekuatan kaum Muslim yang dipandang sebagai kekuatan Islam saja.
3. Negeri itu mengawali secara langsung penerapan Islam secara total, sekaligus, dan menyeluruh serta langsung mengemban dakwah Islamiyyah.
4. Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat-syarat in’iqãd. Kekilafahan meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyyah, karena yang wajib hanya syarat in’iqãd.

Jika negeri itu memenuhi keempat hal di atas, maka dengan baiat negeri itu saja khilafah sesungguhnya telah terwujud dan akad kekhilafahan telah terjadi. Dalam hal ini, khalifah yang telah dibaiat dengan baiat in’iqãd, secara sah merupakan khalifah yang sesuai dengan syariah sehingga pembaiatan kepada yang lain itu menjadi tidak sah. Dengan demikian, negeri mana pun yang membaiat seorang khalifah lain setelah itu adalah batil dan tidak sah. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Sa’id al Khudri dari rasulullah saw yang bersabda:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

Apabila dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR Muslim).

Hadits ini menjelaskan, bahwa ketika negara tidak memiliki khalifah — baik karena meninggalnya khalifah, karena diberhentikan maupun berhenti secara otomatis — lalu dibai’at dua orang untuk menduduki kekhilafahan, maka yang paling akhir di antara kedua orang tersebut wajib dibunuh, apalagi kalau diberikan lebih dari dua orang. Ini juga merupakan kinãyah (kiasan) terhadap larangan adanya pembagian negara khilafah, yang juga berarti mengharamkan negara khilafah menjadi banyak negara, bahkan mewajibkan tetap hanya satu negara.

Demikianlah metode pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala negara dalam sistem khilafah. Wal-Lãh a’alam bi al-shawãb. (Rokhmat S. Labib, M.E.I. – Ketua lajnah tsaqafiyyah)

Status Orang yang Tidak berhukum dengan Hukum Allah

Memang benar terdapat celaan yang keras bagi orang yang tidak menetapkan hukum dengan hukum Allah Swt. Allah Swt berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS al-Maidah [5]: 44).

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Dan barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim (QS al-Maidah [5]: 45)..

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan arangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik (QS al-Maidah [5]: 47).

Ayat ini, sekalipun turun berkenaan dengan kaum Yahudi dan Nasrani, akan tetapi tidak bisa dibatasi hanya untuk mereka. Sebab, ungkapan ayat ini bersifat umum. Kata man yang berkedudukan sebagai syarat memberikan makna umum, sehingga tidak dikhususkan kepada kelompok tertentu.[1] Sedangkan dalam kaidah yang rajih disebutkan:

الْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ

Berlakunya hukum dilihat dari umumnya lafadz, bukan khususnya sebab.

Oleh karena itu ketiga ayat tersebut bersifat umum, meliputi semua orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Swt. Kesimpulan ini juga dinyatakan oleh Ibnu Mas’ud, al-Nakhai,[2] Ibnu Abbas, Ibrahim, al-Hasan, dan al-Sudi.[3] Juga Fakhruddin al-Razi, Ibnu ‘Athiyyah, al-Qinuji, al-Samarqandi, dan Mahmud Hijazi.[4]

Meskipun bersifat umum, bukan berarti semua orang yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Alllah secara langsung dapat digolongkan sebagai kafir. Diperlukan pengkajian secara lebih cermat dan mendalam agar tidak jatuh dalam tindakan takfir (pengkafiran) yang tidak pada tempatnya.

Perbuatan ‘memutuskan perkara dengan hukum Allah’ termasuk dalam wilayah syariah. Secara syar’i, perbuatan tersebut termasuk dalam hukum wajib. Ketetapan hukum ini didasarkan pada dalil-dalil qath’iyy (pasti, tidak memungkinkan alternatif ganda), baik qath’iy al-tsubût (pasti penetapan sumbernya) maupun qath’iyy al-dalâlah (pasti penunjukannya). Dalil-dalil semacam itu itu bertebaran dalam al-Quran dan al-Sunnah.

Di antara dalil-dalil yang menghasilkan kesimpulan hukum wajib adalah adanya perintah tegas untuk memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan-Nya dan larangan mengikuti hawa nafsu kaum kafir (QS al-Maidah [5]: 48, 49); kewajiban mentaati Allah Swt dan Rasulullah saw dan mengembalikan semua perkara yang diperselisihkan kepada keduanya (QS al-Nisa’ [4]: 59); penolakan keimanan orang yang tidak mau berhukum kepada Rasulullah saw (QS al-Nisa’ [4]: 65); ancaman ditimpakannya fitnah atau azab pedih bagi orang yang menyimpang dari perintah Rasulullah saw (QS al-Nur [24]: 63); celaan terhadap orang yang meminta keputusan hukum kepada thaghût (al-Nisa’ [4]: 60); dan masih banyak lagi lainnya. Tak aneh jika wajibnya memutuskan perkara dengan hukum Allah Swt ini terkatagori dalam perkara ma’lûm min al-dîn bi al-dharûrah (yang telah diketahui sebagai bagian dari agama karena urgensinya).

Sebagai persoalan yang termasuk dalam wilayah syariah, meninggalkan kewajiban ini dapat dikatagorikan sebagai perbuatan dosa. Kendati demikian, pelanggaran tersebut, tidak sampai mengeluarkan seseorang dari status keimanannya atau keislamannya. Tindakan itu seperti halnya memakan riba, membunuh, mencuri, atau berzina. Memang perbuatan itu termasuk dalam dosa besar. Akan tetapi, tidak mengeluarkan seorang muslim dari agamanya. Pelakunya juga tidak bisa disebut murtad karenanya.

Status kafir atau murtad baru dapat diberikan apabila sudah taraf mengingkari hukum-hukum-Nya. Apabila seseorang mengingkari wajibnya berhukum dengan syariah, maka pengingkaran itu dapat menyebabkannya keluar dari Islam alias kafir. Status kafir atau murtad itu tidak disebabkan karena tindakannya yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah, namun karena pengingkarannya terhadap suatu perkara telah dipastikan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Jika sudah pada taraf pengingkaran, masalahnya bukan sekadar pelanggaran terhadap ketetapan hukum syara’, namun sudah masuk dalam wilayah aqidah. Sementara aqidah inilah yang menjadi pembeda antara orang mukmin dengan orang kafir.

Oleh karena kewajiban menerapkan syariah itu didasarkan pada dalil-dalil yang qath’iyy, baik qath’iy al-tsubût maupun qath’iyy al-dalâlah, maka mengingkari wajibnya memutuskan perkara dengan syariah sama halnya dengan mengingkari ayat-ayat tersebut. Sementara, mengingkari sebagian ayat al-Quran sudah cukup mengeluarkan seseorang dari keimanan. Allah Swt berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا . أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan (QS al-Nisa’ [4]: 150-151).

Allah Swt juga berfirman:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat (QS al-Baqarah [2]: 85).

Demikianlah pendapat para ulama ketika menjelaskan makna ayat ini. Ibnu Abbas mengatakan:

مَنْ جَحَدَ مَا أَنْزَلَ اللهُ فَقَدْ كَفَرَ. وَمَنْ أَقَرَّ بَهَ وَلَمْ يَحْكُمْ، فَهُوَ ظَالِمٌ فَاسِقٌ

Barangsiapa yang mengingkari apa yang diturunkan Allah, sungguh dia telah kafir. Dan barang siapa mengakuinya namun tidak berhukum dengannya, maka dia adalah dzalim-fasik.[5]

Ikrimah juga sejalan dengan pendapat tersebut. Dia menyatakan:

قوله {وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ الله} إنما يتناول من أنكر بقلبه وجحد بلسانه ، أما من عرف بقلبه كونه حكم الله وأقر بلسانه كونه حكم الله ، إلا أنه أتى بما يضاده فهو حاكم بما أنزل الله تعالى ، ولكنه تارك له ، فلا يلزم دخوله تحت هذه الآية

“Firman Allah ‘waman lam yahkum bimâ anzalaLlâh’ itu mencakup orang yang mengingkari di hatinya dan mendustakan dengan lisannya. Adapun orang yang mengakui di hatinya keberadaanya sebagai hukum Allah, membenarkan dengan lisannya keberadaannya sebagai hukum Allah, hanya saja dia melakukan yang sebaliknya, maka sebenarnya dia memutuskan dengan hukum Allah, akan tetapi dia meninggalkannya, maka dia tidak termasuk dalam cakupan ayat ini.”[6]

Pendapat Ikrimah ini juga nyatakan oleh Fakhruddin al-Razi sebagai jawaban yang shahih.[7] Syekh Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum dalam Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm menuturkan:

وقد أمر الله السلطان والحاكم أن يحكم بما أنزل الله على رسوله, وجعل من يحكم بما بغير ما أنزل الله كافرا إن اعتقد به, أو اعتقد بعدم صلاحية ما أنزل الله على رسوله, وجعل عاصيا وفاسقا وظالما إن حكم به ولم يعتقده

Dan sungguh Allah telah memerintahkan sultan dan penguasa untuk berhukm dengan apa yang Allah Swt turunkan kepada rasul-Nya; dan menjadikan orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan sebagai orang kafir jika dia meyakininya, atau menyikini tidak layaknya apa yang Allah turunkan; dan menjadikannya sebagai orang yang maksiat, fasik, dan dzalim, jika berhukum dengan (selain apa yang Allah turunkan) dan tidak meyakininya.”[8]

Pandangan demikian, menurut Wahbah al-Zuhaili merupakan pandangan jumhur Ahlussunnah.[9]

Bertolak dari paparan di atas, jelaslah status kafir diberikan kepada orang yang mengingkari kebenaran, kelayakan, dan kewajiban berhukum dengan hukum Allah Swt. Namun jika masih meyakini kebenaran, kelayakan, dan kewajiban berhukum dengan hukum Allah, statusny yang diberikan adalah dzalim dan fasik.

Patut ditandaskan, sikap tidak berhukum dengan hukum Allah hanya menyebabkan pelakunya menderita kerugian dan kesengsaraan. Sebab, hanya ada tiga alternatif bagi orang seperti itu, yakni kafir, dzalim, atau fasik (lihat QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47). Status kafir tentu yang paling ditakutkan. Pasalnya, status itu akan mengakibatkan seluruh amal perbuatan manusia terhapus dan sia-sia. Allah Swt berfirman:

وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَلِقَاءِ الْآَخِرَةِ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan (QS al-A’raf [7]: 147).

Dengan besarnya sanksi itu, siapa lagi yang masih berani menolak syariah-Nya? Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb (Rokhmat S. Labib, M.E.I; Ketua Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI)

[1] al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 12, 6; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 53; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 3, 428

[2] al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 3, 428; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. 2, 48

[3] al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 10, 593; al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 191

[4] al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 12, 6; Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol.2, 196; Dengan ungkapan yang sedikit berbeda, alasan ini juga dikemukakan Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3, 55; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 3, 427; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 439; Mahmud Hijazi, al-Tafsîr al-Wadhîh, vol. 1 (Kairo: Dar al-Tafsir, 1992), 519

[5] al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 10; al-Wahidi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2, 191; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 2 , 80; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 56; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 439

[6] al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 12, 6; al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 5, 208

[7] al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 12, 6

[8] Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim al-Zallum, Nidzâm al-Hukm fî al-i\Islâm (Beirut: Dar al-Ummah, 2002), 20

[9] al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 5, 206

Mencegah Perselingkuhan


Dalam waktu terakhir ini kita semakin sering mendengar berita perselingkuhan yang marak di mana-mana. Sejumlah skandal seks menimpa politisi. Di luar ini, disinyalir masih banyak pejabat dan anggota legislatif lain, serta anggota masyarakat biasa yang berperilaku bejat, berselingkuh atau berzina dengan wanita yang bukan istrinya atau dengan lelaki bukan suaminya.

Penyebab Selingkuh

1. Masalah internal.

Pernikahan pada dasarnya mempertemukan dua orang yang mempunyai kepribadian, sifat, karakter, latar belakang keluarga dan problem yang berbeda satu sama lain. Karena itu, tidak mengherankan jika kehidupan dalam rumah tangga kadang tidak seindah harapan. Ketidakmatangan masing-masing pasangan ikut mempengaruhi dinamika yang terjadi dalam menghadapi setiap persoalan rumah tangga. Jika masing-masing tidak berusaha untuk memperbaiki diri atau malah justru mencari hiburan dan kompensasinya sendiri, maka pengikat di antara keduanya semakin pudar. Jika ini tidak segera diatasi, cepat atau lambat akan mempengaruhi kualitas hubungan suami-istri. Sikap apatis, pasif atau bahkan pasif-agresif bisa menjadi indikasi adanya masalah dalam kehidupan pernikahan seseorang.

Emotional divorce (keterpecahan emosi), yang banyak dialami oleh suami-istri, baik yang baru maupun yang sudah lama menikah, membuat hubungan cinta kasih akhirnya padam dan menjadi dingin. Meskipun secara fisik pasangan suami-istri masih tinggal serumah, secara emosional terdapat jarak yang membentang. Dengan pudarnya cinta dan kasih sayang, semakin longgarlah ikatan dan komunikasi di antara pasangan yang bisa mendorong salah satu atau keduanya mencari seseorang yang dapat memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan emosional maupun kebutuhan fisik, termasuk seks. Apalagi jika kemudian masing-masing pasangan tidak memiliki pemahaman tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan berumah tangga dan mengatasi persoalan yang muncul menurut ajaran Islam.

Debbie Layton-Tholl mengungkapkan bahwa perselingkuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah menikah pada dasarnya bukan karena untuk mencari kepuasan seksual semata. Prosentase terbesar (90%) perselingkuhan terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan emosional pasangan. Kebutuhan seksual bukanlah menjadi alasan pertama dan utama. Perilaku seksual yang sering mewarnai affair ataupun perselingkuhan sering hanya merupakan sarana untuk memelihara dan mempertahankan affair tersebut, bukan menjadi alasan utama.

2. Masalah eksternal.

Dalam pandangan kapitalis hubungan pria dan wanita merupakan pandangan yang bersifat seksual semata, bukan pandangan untuk melestarikan keturunan manusia. Oleh karena itu, mereka sengaja menciptakan fakta-fakta yang terindra dan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual di hadapan pria dan wanita dalam rangka membangkitkan dorongan seksual untuk dipenuhi. Mereka menganggap bahwa gejolak naluri yang tidak dipenuhi mengakibatkan kerusakan pada diri manusia, baik terhadap fisik, psikis, maupun akalnya. Dari sini, kita bisa memahami, mengapa banyak komunitas masyarakat selalu menciptakan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual (fantasi-fantasi seksual), baik dalam cerita-cerita, lagu-lagu, maupun berbagai karya mereka lainnya. Belum lagi kebiasaan gaya hidup campur-baur antara pria dan wanita yang tidak semestinya di dalam maupun di luar rumah. Semua ini muncul karena mereka menganggap tindakan-tindakan semacam itu merupakan hal yang lazim dan penting sebagai bagian dari sistem dan gaya hidup mereka.

Kiat Menghindari Perselingkuhan Secara Islam

1. Menjalankan kehidupan rumah tangga secara islami.

Sebagai sebuah ibadah, pernikahan memiliki sejumlah tujuan mulia. Memahami tujuan itu sangatlah penting guna menghindarkan pernikahan bergerak tak tentu arah yang akan membuatnya sia-sia tak bermakna. Tujuan-tujuan itu adalah untuk mewujudkan mawaddah dan rahmah, yakni terjalinnya cinta-kasih dan tergapainya ketenteraman hati (sakinah) (QS ar-Rum: 21); melanjutkan keturunan dan menghindarkan dosa; mempererat tali silaturahmi; sebagai sarana dakwah; dan menggapai mardhatillah. Jika tujuan pernikahan yang sebenarnya dipahami dengan benar, insya Allah akan lebih mudah bagi suami-istri meraih keluarga sakinah dan terhindar dari konflik-konflik yang berkepanjangan. Sebab, kesepahaman tentang tujuan pernikahan sesungguhnya akan menjadi perekat kokoh sebuah pernikahan.

Islam memandang pernikahan sebagai “perjanjian yang berat (mîtsâq[an] ghalîdza)” (QS an-Nisa’ [4]: 21) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajibannya.

Islam mengatur dengan sangat jelas hak dan kewajiban suami-istri, orangtua dan anak-anak, serta hubungan dengan keluarga yang lain. Islam memandang setiap anggota keluarga sebagai pemimpin dalam kedudukannya masing-masing. Dengan kata lain, pernikahan haruslah dipandang sebagai bagian dari amal shalih untuk menciptakan pahala sebanyak-banyaknya dalam kedudukan masing-masing melalui pelaksanaan hak dan kewajiban dengan sebaik-baiknya. Ketimpangan atau terabaikannya hak dan kewajiban, misalnya soal nafkah, pendidikan atau perlindungan, tentu akan dengan sangat mudah menyulut perselisihan dalam keluarga yang bisa berpeluang untuk terjadi perselingkuhan.

2. Atasi berbagai persoalan suami-istri dengan cara yang benar (islami) dan tidak melibatkan orang (lelaki atau perempuan) lain.

Dalam kehidupan rumah tangga, tidak selalu mudah menyatukan dua pribadi yang berbeda dan dengan latar belakang yang berbeda. Konflik menjadi suatu hal yang mudah terjadi dalam kehidupan rumah tangga.

Kesabaran merupakan langkah utama ketika mulai muncul perselisihan. Islam memerintahkan kepada suami-istri agar bergaul dengan cara yang baik, serta mendorong mereka untuk bersabar dengan keadaan masing-masing pasangan; karena boleh jadi di dalamnya terdapat kebaikan-kebaikan. Jika dibutuhkan orang ketiga untuk membantu menyelesaikan persoalan maka jangan sekali-sekali melibatkan lawan jenis yang bukan mahram-nya; seperti teman sekantor, tetangga, kenalan dan sebagainya. Awalnya mungkin hanya sebatas curhat, tetapi tanpa disadari, jika sudah mulai merasa nyaman, persoalan mungkin justru tidak terpecahkan, yang kemudian terjadi adalah munculnya rasa saling ketergantungan dan ketertarikan. Hal ini bisa menjadi awal dari kedekatan di antara mereka dan peluang untuk terjadinya perselingkuhan.

3. Menjaga pergaulan dengan lawan jenis di tengah-tengah masyarakat.

Dalam pandangan Islam hubungan antara pria dan wanita merupakan pandangan yang terkait dengan tujuan untuk melestarikan keturunan, bukan semata-mata pandangan yang bersifat seksual. Dalam konteks itulah, Islam menganggap berkembangnya pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual pada sekelompok orang merupakan keadaan yang membahayakan. Oleh karena itu, Islam memerintahkan pria dan wanita untuk menutup aurat, menahan pandangannya terhadap lawan jenis, melarang pria dan wanita ber-khalwat, melarang wanita bersolek dan berhias di hadapan laki-laki asing (non-mahram). Islam juga telah membatasi kerjasama yang mungkin dilakukan oleh pria dan wanita dalam kehidupan umum serta menentukan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita hanya boleh dilakukan dalam dua keadaan, yaitu: lembaga pernikahan dan pemilikan hamba sahaya.

4. Poligami.

Islam telah menjadikan poligami sebagai sesuatu perbuatan mubah (boleh), bukan sunnah, bukan pula wajib. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan dalam An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm:

Harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum Muslim, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunnah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang mubah, yang boleh mereka lakukan jika mereka berpandangan demikian.

Dasar kebolehan poligami tersebut karena Allah Swt. telah menjelaskan dengan sangat gamblang tentang hal ini (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 3).

Poligami bisa menjadi solusi di tengah kehidupan pergaulan lawan jenis seperti sekarang ini. Anehnya, poligami justru banyak ditentang, sementara perselingkuhan dibiarkan merajalela. Praktik poligami yang salah di tengah-tengah masyarakat tidak boleh menjadi alasan untuk menolak poligami. Sebab, realitas itu terjadi karena praktik poligami tidak dijalankan sesuai dengan tuntunan Islam. Alasan bahwa wanita menjadi sakit hati dan tertekan karena suaminya menikah lagi juga tidak tepat. Perasaan tersebut hanya akan muncul akibat adanya anggapan bahwa poligami sebagai sesuatu yang buruk. Itu terjadi karena kampanye massif yang dilancarkan kalangan antipoligami. Sebaliknya, jika istri menganggap poligami sebagai sesuatu yang baik, perasaan sakit hati dan tertekan akibat suaminya berpoligami tidak terjadi. Allah Swt. telah memberikan peringatan yang tegas kepada para suami yang berpoligami (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 129). Intinya, Allah Swt. memerintahkan kepada seorang suami untuk menjauhkan diri dari kecenderungan yang berlebihan kepada salah seorang istrinya dengan menelantarkan yang lain. Hal ini juga diperkuat dengan sebuah Hadis Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra. (HR Ahmad).

5. Memberikan hukuman bagi para pelaku perselingkuhan.

Pada hakikatnya perselingkuhan sama dengan perzinaan. Dalam pandangan Islam seorang yang berselingkuh/berzina mendapatkan hukuman yang sangat berat. Jika belum menikah, pelakunya harus dicambuk 100 kali, dan untuk yang sudah menikah harus dirajam sampai mati. Hukuman yang berat ini akan menjadi pelajaran bagi pelakunya hingga menimbulkan jera sekaligus sebagai penebus dosa atas perbuatan yang dilakukan. Jika hukuman ini diterapkan, seseorang akan berpikir panjang sebelum melakukan perselingkuhan. [Zulia Ilmawati; (Psikolog, Pemerhati Masalah Anak dan Keluarga)]

Rabu, 29 Juli 2009

Ya Allah Berikanlah…



Ya Allah,,,

Seandainya telah Engkau catatkan

Dia milikku tercipta buatku

Satukanlah hatinya dengan hatiku

Titipkanlah kebahagiaan antara kami

Agar kemesraan itu abadi

Dan Ya Allah Ya Tuhanku yang Maha Mengasihi

Seiringkanlah kami melayari hidup ini

Ketepian yang sejahtera dan abadi

Tetapi Ya Allah,,

Seandainya telah Engkau takdirkan

Dia bukan milikku

Bawalah ia jauh dari pandanganku

Lupakanlah ia dari ingatanku

Dan peliharalah aku dari kekecewaan

Serta Ya Allah Ya Tuhanku yang Maha Mengerti

Berikanlah aku kekuatan

Melontar bayangannya jauh ke dada langit

Hilang bersama senja nan merah

Agarku bisa bahagia

Walaupun tanpa bersama dengannya

Dan Ya Allah Yang Tercinta

Tumbuhkanlah kembali yang telah patah

Walaupun tidak sama dengan dirinya

Ya Allah Ya Tuhanku

Pasrahkanlah aku dengan takdirmu

Sesungguhnya apa yang telah Engkau takdirkan

adalah yang terbaik buatku

Karena Engkau Maha Mengetahui

Segala yang terbaik buat hamba-Mu ini

Ya Allah

Cukuplah Engkau saja

Yang menjadi pemeliharaku

Di dunia dan di akhirat

Dengarlah rintihan dari hamba-Mu yang lemah ini

Jangan Engkau biarkan aku sendirian

Di dunia ini maupun di akhirat

Menjuruskan aku kearah

Kemaksiatan dan kemungkaran

Maka karuniakanlah aku

Seorang pasangan yang beriman


Dan karuniakanlah padaku

Keturunan yang sholeh

Amiin.

Senin, 06 Juli 2009

SABAR MENGHADAPI COBAAN DAN RIDHA TERHADAP QADHA lanjutan

Sabar yang sebenarnya adalah sabar yang telah dijadikan Allah sebagai buah dari ketakwaan. Allah berfirman: Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka
sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (TQS. Yusuf [12]: 90)

Sabar yang sebenarnya adalah mereka yang disertakan oleh Allah dengan para Mujahid. Allah berfirman: Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (TQS. Ali ‘Imrân [3]: 146)

Sabar terhadap cobaan dan qadha adalah sesuatu yang akan menuntun menuju sikap konsisten, bukan sikap yang labil. Sabar yang akan mendorong untuk senantiasa berpegang teguh pada Kitab Allah, bukan melemparkannya dengan dalih beratnya
obaan. Sabar seperti ini adalah sabar yang akan semakin menambah kedekatan seorang hamba kepada Rabbnya, bukan semakin jauh. Allah berfirman:

Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (TQS. al- Anbiya [21]: 87)

Kesabaran yang sebenarnya adalah kesabaran yang akan semakin memperkuat cita-cita dan akan mendekatkan ke jalan menuju surga, yaitu seperti kesabaran Bilal bin Rabah, Khabab, dan keluarga Yasir. Sebagiamana sabda Rasul saw.: Sabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya yang dijanjikan bagi kalian adalah surga.


Juga seperti kesabaran Khubaib dan Zaid. Ia berkata: Demi Allah, aku tidak suka Muhammad saw. ditimpa musibah walau hanya dengan duri, sementara aku selamat dengan keluargaku.

Juga seperti kesabaran orang-orang yang menghentikan orang yang dzalim tanpa merasa takut, di jalan Allah, terhadap cacian orang yang suka mencaci. Rasulullah saw. bersabda:

Tidak, demi Allah, kalian harus menghentikan orang yang dzalim, kalian harus membelokkan mereka (dari kedzaliman) menuju kebenaran, dan kalian harus menahan mereka dalam kebaikan atau Allah akan mengunci hati sebagian dari kalian disebabkan oleh sebagian yang lainnya dan Allah akan melaknat kalian sebagaimana telah melaknat Bani Israil.

Juga seperti kesabaran para sahabat yang diberkati, juga kesabaran para sahabat yang diboikot, dan para sahabat yang hijrah ke Habsyah; dan kesabaran para sahabat yang ditangkap karena berpegang pada perkataan mereka, “Tuhan kami adalah Allah”.

Kesabaran yang hakiki juga harus seperti kesabaran kaum Muhajirin dan Anshar pada saat memerangi kaum Musyrik, bangsa Persia, dan Romawi. Seperti kesabaran sahabat yang ditawan, yaitu kelompok Abdullah bin Abi Hudzafah…; juga kesabaran para mujahidin yang berani dan jujur.

Kesabaran yang sebenarnya adalah kesabaran pada saat melaksanakan amar makruf nahi munkar, dan tidak lemah meskipun dihadapkan kepada berbagai penindasan di jalan Allah. Kesabaran yang sebenarnya adalah kesabaran pada saat menjadi tentara bersama pasukan kaum Muslim yang siap memerangi musuh-musuh Allah. Sabar yang sebenarnya adalah kesabaran yang sesuai dengan firman Allah:

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orangorang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang memper-sekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (TQS. Ali ‘Imrân [3]: 186)

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu. (TQS. Muhammad [47]: 31)

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji`ûn”. Mereka itulah yang mendapat keber-katan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (TQS. al-Baqarah [2]: 155-157)

SABAR MENGHADAPI COBAAN DAN RIDHA TERHADAP QADHA

Ridha dan marah termasuk perbuatan manusia. Karena itu manusia akan diberi pahala atas perbuatannya dan akan disiksa atas kemarahannya. Sedangkan qadha sendiri tidak termasuk perbuatan manusia, sehingga manusia tidak akan diminta pertanggungjawaban atas terjadinya qadha, sebab bukan termasuk perbuatannya. Tetapi ia tetap akan ditanya tentang ridha dan marahnya terhadap qadha, karena hal itu termasuk perbuatannya.
Allah berfirman:

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (TQS. an-Najm [53]: 39)

Qadha dari Allah ini akan menjadi penebus atas dosa-dosa seseorang, dan sebagai sarana dihapuskannya kesalahan. Dalilnya sangat banyak, di antaranya hadits dari Abdullah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:

Seorang muslim yang diuji dengan rasa sakit karena duri atau yang lebih dari itu, maka Allah pasti akan menebus kesalahankesalahannya karena musibah itu, sebagaimana suatu pohon menggugurkan daunnya. (Mutafaq ‘alaih).

Hadits yang lain adalah dari ‘Aisyah, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: Satu duri atau yang lebih dari itu, yang menimpa seorang mukmin, maka pasti dengan duri itu Allah akan mengurangi kesalahannya. Dalam satu riwayat dikatakan “naqushshu” artinya kami akan mengurangi. (Mutafaq ‘alaih).

Hadits dari Abû Hurairah dan Abû Sa’id, dari Nabi saw., bersabda: Setiap musibah yang menimpa seorang mukmin, berupa sakit yang berterusan, sakit yang biasa, kebingungan, kesedihan, kegundahan hingga duri yang menusuknya, maka pasti musibah itu akan menjadi penghapus bagi kesalahan-kesalahannya. (Mutafaq ‘alaih).

Dalam bab ini terdapat juga hadits senada dari Sa’ad, Muawiyah, Ibnu Abbas, Jabir, Ummu al-Ala, Abû bakar, Abdurrahman bin zhar, al-Hasan, Anas, Syadad, dan Abû Ubaidah ra.; dengan sanad-sanad ada yang baik dan ada yang shahih. Semuanya sampai kepada Nabi saw. (hadits marfu), yang isinya menyatakan bahwa “setiap ujian akan menggugurnya kesalahan”.

Hadits dari ‘Aisyah ra. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Seorang muslim yang tertusuk duri atau yang lebih dari itu, maka pasti Allah dengan musibah itu akan mengangkat satu derajat untuknya dan menggugurkan satu kesalahan darinya.

Dalam riwayat lain dikatakan: Maka pasti Allah dengan musibah itu akan mencatat satu kebaikan baginya.

Yang dimaksud dengan pahala di sini adalah pahala atas keridhaannya terhadap qadha dari Allah dan kesabarannya; Juga bersyukur dan tidak mengadukan musibahnya kecuali kepada Al lah. Banyak sekal i hadi ts yang menjelaskan batasan ini, di antaranya hadits riwayat Muslim dari Shuhaib, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:

Sungguh mengagumkan urusan orang yang beriman, karena seluruh urusannya merupakan kebaikan baginya. Jika mendapatkan kesenangan ia bersyukur, maka syukur adalah kebaikan baginya. Jika ditimpa kesulitan ia bersabar, maka sabar itu merupakan kebaikan baginya. Hal seperti ini tidak akan didapati pada seseorang kecuali orang yang beriman.

Hadits riwayat al-Hâkim, ia menshahihkannya yang disepakati oleh adz-Dzahabi dari Abû Darda ra., ia berkata; aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman, “Wahai Isa!, sungguh aku akan mengi r im sua tu umat setel ahmu. J ika me reka mendapatkan perkara yang disukai, pasti akan memuji kepada Allah. Jika mereka mendapatkan perkara yang tidak disukai, mereka akan ikhlas menerimanya dan bersabar menghadapinya, padahal mereka tidak memiliki kepandaian dan ilmu.” Isa berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana itu bisa terjadi?” Allah berfirman, “Aku memberikan kepada merekasebagian dari kepandaian dan ilmu-Ku.”

Hadits riwayat ath-Thabrâni dengan isnad yang sehat dari cacat, dari Ibnu Abbas ra., ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: Siapa saja yang ditimpa musibah atas hartanya atau jiwanya, kemudian ia menyembunyikannya dan tidak mengadukan kepada manusia, maka Allah pasti akan mengampuninya.

Hadits riwayat al-Bukhâri dari Anas, ia berkata; aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, “Jika Aku menguji hambaku dengan dua mata yang buta, kemudian ia bersabar, maka Aku akan menggati kedua (mata)nya tersebut dengan surga baginya.
Hadits riwayat al-Bukhâri dalam al-Adab al-Mufrad, dari Abû Hurairah, ia berkata; Rasulullah bersabda: Seorang muslim yang tertusuk duri di dunia, ia ikhlas menerimanya, maka pasti ujian itu akan menjadi penyebab Allah melenyapkan kesalahan-kesalahnya di hari kiamat.

Pada pembahasan ini kita perlu menelaah kesabaran lebih dalam lagi, untuk menghilangkan kesalahpahaman pada sebagaian kaum Muslim tentang fakta dan makna sabar. Ada yang beranggapan, jika seseorang membatasi diri dan menjauhkan di r i dar i manus ia, meningga lkan kemunkaran dan para pelakunya; ia melihat keharamansudah merajalela, hukum-hukum Allah tidak diamalkan, dan jihad telah ditinggalkan. Pada kondisi seperti ini, ia tidak mengambi sikap untuk mengha-dapinya, bahkan ia menjauh dan meninggalkan aktivitas nahi munkar; maka yang seperti ini oleh sebagian orang dianggap sebagai orang
yang bersabar. Atau mereka memahami sabar sekadar menolak penindasan atas dirinya saja. Ia menghindari hal-hal yang mengakibatkan akan ditangkap oleh musuh-musuh Allah, sehingga ia tidak berani mengatakan kebenaran, tidak berani beramal untuk menggapai ridha Allah. Bahkan ia tetap diam, mengurung diri di tempat ibadah. Ia berkata tentang dirinya, “Aku adalah orang yang bersabar.”

Sabar seperti itu bukanlah sabar yang pelakunya dijanjikan surga oleh Allah Swt. seperti dalam firman-Nya: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (TQS. az-Zumar [39]: 10)

Sikap seperti itu adalah kelemahan. Rasulullah saw. Telah meminta perlindungan kepada Allah dari sifat tersebut. Beliau bersabda: Aku berlindung kepada Allah dari sifat lemah, dan malas; dari sifat kikir, bingung, kesedihan, dilanda hutang, dan dari paksaan orangorang kuat. Sabar yang sebenarnya adalah ketika kita mengatakan yang hak dan melaksanakannya. Siap menanggung resiko penderitaan di jalan Allah karena mengatakan dan mengamalkan kebenaran, tanpa berpaling, bersikap lemah, atau lunak sedikit pun.

TELAGA HATI

Suatu hari seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang dirundung masalah Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya.

Pak tua bijak hanya mendengarkan dgn seksama, lalu Ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air.

Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan,

"Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya ", ujar pak tua

"Pahit, pahit sekali ", jawab pemuda itu sambil meludah ke samping

Pak tua itu tersenyum, lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya.

Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yg tenang itu.

Sesampai disana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu, dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya.

"Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah." Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tua kembali bertanya lagi kepadanya,

"Bagaimana rasanya ?"

"Segar", sahut si pemuda.

"Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?" tanya pak tua

"Tidak, " sahut pemuda itu

Pak tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata:

"Anak muda, dengarkan baik-baik. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama. Tetapi kepahitan yg kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya.

Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yg kamu dapat lakukan;

Lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu".

Pak tua itu lalu kembali menasehatkan:

"Hatimu adalah wadah itu; Perasaanmu adalah tempat itu; Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya.

Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yg mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian.

Karena Hidup adalah sebuah pilihan, mampukah kita jalani kehidupan dengan baik sampai ajal kita menjelang?

Belajar bersabar menerima kenyataan adalah yang terbaik"

SYARIAH BUKAN PILIHAN TAPI KEWAJIBAN

Sebuah kesimpulan yang salah jika dinyatakan bahwa kekalahan partai Islam menunjukkan syariah tidak laku. Sebab, bagi umat Islam, syariah bukanlah pilihan, tetapi kewajiban yang harus dilaksanakan. Karena itu, syariah Islam bukan ditawarkan, tetapi diwajibkan.

Sejak awal syariah diturunkan bukan untuk ditawarkan kepada manusia, namun diwajibkan atas seluruh manusia. Saat itu, memang sebagian masyarakat Makkah menerimanya, sedangkan kebanyakan menolaknya. Namun, pada saat itu tidak dikatakan bahwa Islam tidak laku, tetapi belum diimani banyak orang. Ini persis sama dengan kondisi sekarang; banyak yang sudah Islam, namun sebagian besar masih sekular.

Realitas masyarakat kita yang tidak tunduk pada syariah Islam menjadi bukti bahwa sebagian besar dari mereka masih belum mengimani syariah Islam sebagai satu-satunya problem solving dalam kehidupan. Penerimaan mereka terhadap syariah masih sedikit. Ini disebabkan oleh dua faktor: faktor internal dan eksternal. Faktor internal terutama karena dakwah kita yang tidak menekankan ketundukan pada syariah Islam sebagai bagian dari keimanan, tidak mampu menjelaskan Islam sebagai sistem kehidupan yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan manusia, serta banyak kompromi/toleransi antara yang haq dan yang batil dengan alasan kekinian yang darurat. Faktor eksternal terutama karena besarnya kekuatan kafir untuk menaklukkan Islam dan umat Islam secara sistematis; mulai dari pengetahuan hingga ekonomi, politik dan militer. Akibatnya, umat Islam hidup di dalam sistem kufur demokrasi; aturan dan ukuran keberhasilan ditentukan oleh demokrasi. Tak salah jika banyak orang terjebak dalam sudut pandang demokrasi berdasarkan suara terbanyak, bukan pada suara yang paling benar. Siapa yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenangnya; yang mendapat suara sedikit dikatakan jualannya tidak laku, termasuk dalam hal ini syariah Islam.

Untuk mengubah kondisi tersebut, gerakan yang dilakukan harus keluar dari jalan demokrasi dan beralih ke jalan perjuangan Rasul saw.. Dalam gerakannya, Rasulullah saw. menanamkan keimanan dan ketundukan pada syariah hingga mampu membangun sistem Islam, bukan ikut-ikutan sistem kufur yang tidak memberikan kesempatan yang sama pada syariah Islam sebagai sistem kehidupan, tetapi hanya sebagai nilai-nilai spiritual saja. Islam harus ditampilkan sebagai sistem kehidupan yang jauh lebih baik daripada demokrasi, bukan sebaliknya; memperbaiki demokrasi dengan nilai dan moralitas Islam.

Saat realitas demokrasi tidak bisa menghadirkan kesejahteraan bahkan jadi biang kerusakan, kita sebagai bagian dari umat Islam yang menyakini kebenaran dan kemampuan syariah dalam mewujudkan kesejahteraan harus terus mengkampanyekan syariah itu wajib dan mensejahterakan. Dengan itu, sebagian besar umat Islam menerima dan menyakini bahwa hanya syariah Islam yang mampu menjadi satu-satunya harapan meraih kesejahteraan. Umat akan bersatu menuntut berlakunya syariah Islam atas mereka. Saat itulah akan berdiri Dawlah Islamiyah ’ala minhâj an-Nubuwwah: al-Khilâfah ar-Râsyidah. Amin.

LOVE is CINTA

Hmmmm….love is cinta..apa sih cinta itu??????? Siapa aja sih yang harus kita cintai??? Dan siapa yang paling utama kita cintai???? Cinta adalah sesuatu yang membuat kita cenderung kepadanya. Cinta tak bisa dipungkiri oleh setiap insan. Cinta ….cinta…..cinta….kenapa hanya karena satu kata ini saja bisa membuat orang menjadi semangat yang membara……

Secaranya fitrahnya seseorang cenderung untuk dicintai dan mencintai….jika ada yang tidak mau dicintai atau mencintai..hmmmsaya tidak tau dia dari planet mana?????
Jaman sekarang adalah jamannya kapitalisme..jamannya orang liberalis..jamannya orang bebas melakukan apa saja..ya bisa dibilang jaman edan juga sih…..(pergaulan bebas) bayangin aja anak-anak muda sekarang lebih memilih pacar ketimbang orang tuanya…..sampe2 demi pacar ada yang kawin lari...alias bawa kabur anak orang…..hmmmmm….

Hidup di dunia tak ubahnya seperti berjalan dan menenentukan arah tujuan perjalanan kita..mau jalan ke kanan..kiri..atau lurus ke depanyah jalannya emang nggak selalu mulus sih……tapi usaha kita bagaimana untuk jalan di atas jalanan yg penuh tantangan itu dengan membawa bekal pengetahuan (Red: syariat islam)..insyaAllah kita akan bisa melewatinya tanpa kendala.yang jelas kita tidak bisa mundur ke belakang….jadi Islam membawa pencerahan jalan kita alias pencerahan hidup….
Sebagai umat muslim tujuan hidup kita Cuma 1 yaitu syurganya Allah..bener??? kalo ada yg tujuan hidupnya beda..itu lain cerita..nah sewaktu hidup di dunia ada yang mampu menjamin hidup kita di dunia yaitu Allah…rahmat sehat…rezeki..petunjuk..hi
dayahdll dan yang penting Allahlah yang sudah mempertemukan dengan orang-orang yang kita cintai..orang-tua..adik..kakak…nenek..kakek…suami..istritemen..semua orang deh pokoknya
Nah…sekarang siapakah yang patut kita cintai melebihi segalanya kalau bukan Allah dan RasulNya??kalau ada jawaban lain berarti dia sudah menafikkan apa yang telah Allah berikan kepadanya

Nikmat Islam sampai ke bumi melalui wahyu Allah dan disampaikan oleh Rasullah SAW kepada umatnya. Siapa yang menafikkan nikmat Islam berarti dia juga menafikkan nikmat Allah. Peraturan yang Allah berikan bertujuan untuk memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.

Nikmat Allah yang manakah yang akan kau dustakan???
siapa yang tidak mematuhi aturan Allah maka dia juga tidak bisa merasakan nikmatnya Islam…kita akan memahami LOVE IS CINTA jika kita sudah memahami apa arti cinta sesungguhnya yaitu cinta kepada Allah dan rasulNya bukan cinta kepada hamba Allah. Jika mencintai hamba Allah dasarnya juga harus karena Allah bukan yang lain.