Selasa, 29 Juni 2010

Mendambakan Listrik Murah



Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dengan rata-rata 10 persen yang dimulai 1 Juli 2010 telah membuat sebagian besar rakyat Indonesia mengalami kebingungan ketika mendengar dinaikkannya harga tarif tersebut. Pasalnya hampir di sebagian besar sektor industri dan rumah tangga tergantung kepada energi listrik.

Bahkan, dalam masalah ibadah pun masyarakat sangat tergantung kepada adanya daya tersebut. Namun, ironisnya kenaikan TDL ini sebagaimana kejadian sebelumnya tidak diikuti dengan pelayanan publik yang memadai serta dalam upaya untuk meningkatkan keandalan listrik dan menambah daya. Karena, sering terjadinya pemadaman listrik. Baik terencana (terjadwal) maupun mendadak. Itu disebabkan karena PLN kekurangan daya, akibat mesin-mesinnya banyak yang sudah tua dan rusak, ketiadaannya biaya investasi, menyebabkan harus dilakukan overhaul, yang akhirnya merugikan masyarakat banyak dengan pemadaman listrik tersebut.

Sebagaimana diketahui teknologi listrik termasuk teknologi tinggi banyak alat-alat yang masih harus diimpor dan harganya mahal. Padahal APBN terbatas. Akibatnya, kenaikan Tarif Dasar Listrik secara periodik (rutin) menjadi pilihan. Kenaikan ini sebenarnya sudah berlangsung berkali-kali sejak zaman Soeharto hingga masa Susilo Bambang Yudhoono (SBY).

Saat ini pun pemerintah telah memastikan akan menaikkan kembali Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk yang ke sekian kalinya. Tepatnya pada bulan Juli tahun 2010. Lebih dari itu, karena keterbatasan PLN untuk memasok ketersediaan listrik, pemerintah mengundang swasta untuk ikut membangun fasilitas pembangkit dan transmisi.

Swasta menjawab undangan ini dengan meminta kontrak karya (keharusan PLN membeli listrik mereka, tentu dengan harga lebih mahal). Ini pun sudah berlangsung lama. Akibatnya, dalam perkembangan selanjutnya, PLN tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam kelistrikan. Apalagi UU Listrik yang disahkan baru-baru ini memberikan peluang lebih lebar lagi kepada pihak swasta/asing untuk bersaing dengan PLN dalam penyediaan listrik. Termasuk dalam proyek penyediaan listrik 10.000 MW.

Konsekuensinya, listrik benar-benar menjadi barang ekonomi. Apalagi pemerintah akan terus mengurangi subsidi bagi PLN.

Solusi Ekonomi Konvensional Pengamat ekonomi di Indonesia sudah banyak yang berpendapat, bahwa mengalihkan beban biaya produksi listrik yang tinggi kepada rakyat melalui kenaikan TDL (yang tidak diikuti pelayanan yang baik) bukanlah satu-satunya alternatif solusi dan juga bukan solusi terbaik. Masih ada alternatif lain yang lebih baik, yaitu mengevaluasi kembali kinerja PLN itu sendiri.

PLN saat ini dikenal sebagai perusahaan yang memiliki kinerja dengan 3 kombinasi yang tidak logis, yaitu: sudah disubsidi, tarifnya mahal, rugi lagi. Kombinasi yang dianggap logis menurut logika ekonomi konvensional adalah: disubsidi, rugi, dan tarifnya murah; atau kombinasi yang lain yaitu: disubsidi, untung, dan tarifnya mahal.

Paling tidak, ada 3 sumber masalah yang menyebabkan terjadinya kombinasi tidak logis pada PLN tersebut, yaitu:

1. Banyak terjadi korupsi di tubuh PLN.
2. Ketidakefesienan dalam pengelolaan PLN.
3. Pengadaan listrik swasta melalui sejumlah konsorsium, yang mengharuskan PLN membeli listriknya dengan harga yang mahal.

Oleh karena itu, jika 3 sumber masalah dalam tubuh PLN tersebut dapat diatasi manajemen PLN yang ada sekarang ini dan tentu saja dengan dukungan politik yang kuat oleh pemerintah, maka opsi kenaikan TDL dapat dihindari. Solusi tersebut adalah solusi yang banyak ditawarkan oleh pakar-pakar ekonomi konvensional saat ini, yang senantiasa berujung pada 2 kalimat besar, yaitu penghapusan korupsi dan pengelolaan perusahaan yang lebih efesien. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah solusi di atas sudah merupakan solusi terbaik?

Akar Masalah: Pendekatan 'Dagang' teori-teori ekonomi konvensional yang berkembang saat ini tidak pernah keluar dari kerangka ideologi Kapitalisme. Inti ajaran Kapitalisme dalam persoalan ekonomi yang paling 'saklar' adalah ekonomi pasar bebas. Pengelolaan ekonomi yang paling baik adalah pengelolaan ekonomi yang diserahkan kepada pihak swasta melalui mekanisme pasar bebas-nya. Semakin sedikit negara ikut campur dalam urusan ekonomi, maka akan semakin baik ekonomi negara tersebut (Deliarnov, 1997 Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Rajawali Press,
Jakarta).

Itulah paham yang selama ini menjadi 'penjara' bagi segenap pengembangan teori ekonomi konvensional. Akibatnya, tidak pernah ada solusi yang 'berani' keluar dari pemikiran ekonomi di atas. Landasan paham seperti ini pulalah yang dijadikan 'dalil' oleh pihak IMF dan Bank Dunia untuk memaksa Indonesia agar terus-menerus melakukan liberalisasi ekonomi di semua sektornya. Termasuk sektor listrik.

Satu per satu perusahaan milik negara 'dipreteli' melalui program privatisasi dan divestasi sehingga menjadi milik swasta, yang ujung-ujungnya tidak lain adalah swasta asing, yaitu para kapitalis kelas dunia. Akibatnya penjajahan mereka atas negara-negara seperti Indonesia ini tetap bisa dilestarikan.

Perubahan status PLN dari perusahaan jawatan yang lebih berorientasi pada pelayanan menjadi PT yang lebih berorientasi laba/ profit, yang sahamnya boleh dibeli oleh pihak swasta mana pun. Demikian juga munculnya listrik swasta yang mengharuskan PLN membeli 'strum'-nya dengan harga yang mahal, merupakan bagian dari skenario ekonomi kapitalis.

Oleh karena itu akar permasalahannya tidak hanya sekadar apakah PLN sudah terbebas dari segala bentuk korupsi atau tidak. Termasuk juga apakah PLN sudah efesien dalam pengelolaanya atau belum. Tidak hanya sekadar itu. Persoalan yang lebih mendasar adalah status PLN yang berbentuk PT dan berorientasi pada profit tersebut dapat dibenarkan atau tidak? Juga keberadaan swasta. Apakah bisa dibenarkan atau tidak? Inilah titik persoalannya.

Dalam teori ekonomi syariah Islam, harta kekayaan yang ada di muka bumi mempunyai kejelasan status kepemilikan. Hal ini tidaklah seperti teori ekonomi kapitalis yang memandang bahwa seluruh harta kekayaan di muka bumi bebas dimiliki oleh individu.

As-Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menyebutkan bahwa status kepemilikan harta dalam Islam dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu: pertama, kepemilikan individu. Kedua, kepemilikan umum. Ketiga, kepemilikan negara. (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizhom al-Iqtishadi fi al-Islam). Dan, listrik merupakan bagian dari energi (api) yang merupakan kepemilikan umum; yakni penetapan negara sebagai wakil rakyat untuk mengatur produksi dan distribusi energi tersebut untuk kepentingan rakyat.

Rasulullah SAW bersabda: Manusia berserikat dalam tiga hal: air, hutan, dan api
(energi). (HR Abu Dawud). Hadis tersebut memberikan pengertian pada sarana umum. Tentu saja sarana umum tidak terbatas pada ketiga jenis barang di atas. Sarana umum ini menurut Islam, adalah milik umum dan tidak boleh dikuasai oleh pribadi atau swasta. Oleh karena itu, langkah melakukan privatisasi PLN sejak 10 tahun lalu tidak bisa dibenarkan menurut hukum Islam. Sebab, dengan privatisasi itu berarti negara menjual barang/ aset yang bukan miliknya.

Bumi, air, sungai, lautan, tambang-tambang, hutan, jalan-jalan, dan segala sarana dan prasarana umum, termasuk yang dikelola PLN adalah milik umum kaum Muslim. PLN sebagai alat negara adalah hanya pemegang amanah untuk mengelola harta milik umum. Karena itu, dalam kasus ini, manakala memang PLN tidak bisa diefisienkan lagi, maka subsidi harus dipertahankan bahkan ditingkatkan (dengan laba PLN sama dengan nol) agar mendapatkan harga TDL termurah (bahkan jika bisa gratis) bagi mayarakat umum pengguna listrik rumah tangga.

Subsidi dari mana? Dari hasil eksploitasi hutan, lautan, tambang-tambang minyak, gas, dan barang-barang tambang lainnya. Dengan itu ada harapan TDL turun dan rakyat hidup lebih sejahtera. Namun demikian jika dalam keadaan tertentu (suatu misal) negara benar-benar tidak mampu untuk mengelola dan mengoperasikan sendiri pengadaan listrik bagi rakyatnya, maka dalam pandangan Islam, negara boleh menyerahkannya kepada pihak swasta, dengan catatan, status pihak swasta tersebut hanya sebagai pekerja yang dibayar dengan akad ijarah ajir oleh Negara.

Dengan demikian, jika rakyat harus membayar listrik, itu hanya sekadar untuk menutup biaya operasional atau biaya produksi saja. Pemerintah tetap tidak boleh mengambil untung dari aktivitas pelayanan listrik bagi rakyatnya (Abdurrahman al-Maliki, 2001, Politik Ekonomi Islam).

'Agar Listrik Murah' sesungguhnya persoalan listrik tidaklah berdiri sendiri. Ia tentu terkait dengan sumber-sumber energi lain, yaitu BBM, batubara, gas, tenaga air, tenaga panas bumi, tenaga matahari, tenaga nuklir, dan sebagainya. Seluruh sumber energi tersebut harus tetap didudukkan sebagai kepemilikan umum atau rakyat. Oleh karena itu, peran pemerintah hanya satu, yaitu bagaimana agar hak milik rakyat tersebut dapat dinikmati untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, dengan semurah-murahnya bahkan jika bisa gratis.

Islam memberikan prinsip pengelolaan bagi pemerintah, yakni memberikan kemudahan bukan memberi kesulitan pada masyarakat. Rasulullah SAW bersabda, tatkala beliau berpesan kepada dua orang gubernur baru yang akan memerintah di Yaman: Mudahkanlah mereka dan janganlah kalian persulit (HR al-Bukhari dan Muslim). Dengan demikian, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah yang memang telah menjadi wakil rakyat untuk mengurusi seluruh urusan mereka. Termasuk dalam hal ini pengelolaan listrik yang telah menjadi tanggung jawab mereka.

Negara harus benar-benar mengupayakan berjalannya secara optimal pengelolaan listrik tersebut karena rakyat sangat membutuhkannya. Dari semua itu, bila pemerintah mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam niscaya listrik murah dapat dinikmati oleh rakyat karena persoalan listrik hanya bisa diselesaikan dengan solusi penerapan syariah Islam dalam seluruh tatanan kehidupan masyarakat dan negara.

Andi Perdana Gumilang S Pi
Pengamat dan Ketua MT Almarjan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB 2007-2008, Tim Laboratorium Syiar BKIM IPB
Email: andi.sangpenakluk@gmail.com
web: www.bkimipb.org

Sabtu, 26 Juni 2010

Keutamaan Bulan Rajab dalam Timbangan

Allah telah memuliakan beberapa hari, malam, dan bulan atas sebagian yang lainnya. Semua ini sesuai dengan hikmah ilahiyah yang sangat dalam. Tujuannya, agar para hamba lebih giat melaksanakan kebaikan dan memperbanyak amal shalih di dalamnya. Tetapi, syetan dari jenis manusia dan jin senantiasa berusaha menghalangi mereka dari jalan yang lurus dan mengintai mereka dari segala penjuru agar tidak jadi melaksanakan kebaikan-kebaikan. Syetan juga menipu umat manusia dengan menanamkan keyakinan bahwa saat-saat yang utama dan penuh rahmat tersebut adalah kesempatan mereka untuk berleha-leha dan bersantai serta menuruti nafsu dan syahwat.

Syetan juga menggoda kelompok yang lain -biasanya dari kalangan juhal yang terlihat agamis, para pemimpin, dan tokoh masyrakat- dengan ditakut-takuti akan kehilangan kesempatan memperoleh pahala yang besar sehingga mereka berlomba-lomba menciptakan ibadah baru (bid'ah) yang tidak pernah Allah turunkan perintah tentangnya.

Hassan bin 'Athiyah berkata, "Tidaklah suatu kaum membuat kebid'ahan dalam agama mereka kecuali Allah mencabut perkara sunnah dari mereka yang semisal, dan tidak akan mengembalikannya kepada mereka hingga hari kiamat." (Al-Hilyah: 6/73)

Bahkan Ayyub Al-Syakhtiyani mengatakan, "Tidaklah pelaku bid'ah bersungguh-sungguh dalam kebid'ahannya kecuali akan menambah jauh dari Allah," (Al-Hilyah: 3/9)

Di antara perkara yang paling nampak dari kebid'ahan dari musim tersebut adalah perbuatan bid'ah yang telah dikerjakan oleh sebagian ahli ibadah di pelosok negeri pada bulan Rajab. Berikut ini kami tampilkan beberapa persoalan yang sudah diperbincangkan para ulama untuk mengingatkan umat dari mengada-adakan perkara baru dalam berislam.

"Tidaklah pelaku bid'ah bersungguh-sungguh dalam kebid'ahannya kecuali akan menambah jauh dari Allah," (Al-Hilyah: 3/9)

Apakah Rajab memiliki keutamaan khusus dibandingkan bulan lainnya?

Ibnul Hajar rahimahullah berkata, "Tidak ada hadits shahih yang bisa dijadikan hujjah (argument) untuk menunjukkan keutamaan bulan Rajab baik dengan puasanya, berpuasa pada hari-hari tertentu daripadanya dan qiyamullail yang khusus di dalamnya. Telah ada orang yang mendahuluiku dalam memastikan hal itu yaitu Imam Abu Ismail Al-Harawi al-Haafidz, kami telah meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih, begitu juga kami telah meriwayatkan pula dari yang selainnya." (Tabyin al-'Ajab bimaa Warada fii Fadhli Rajab, Ibnul Hajar, hal. 6. Lihat pula Al-Sunan al-Mubtadi'aat, Imam al-Syuqairi, hal. 125)

Beliau berkata lagi, "Adapun hadits yang menerangkan tentang keutamaan Rajab, atau keutamaan shiyamnya, atau puasa pada sebagian hari darinya sangatlah jelas, yaitu ada dua macam: Dhaif dan maudlu'. . . " (Al-Tabyiin, hal. 8)

Adapun hadits yang menerangkan tentang keutamaan Rajab, atau keutamaan shiyamnya, atau puasa pada sebagian hari darinya sangatlah jelas, yaitu ada dua macam: Dhaif dan maudlu'. . .

Shalat Raghaib

Terdapat satu riwayat dari Anas, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang menerangkan sifat shalat Raghaib, hanya saja status riwayat tersebut maudhu' (palsu). Ringkas dari riwayat tersebut sebagai berikut:

"Tidak ada seorang pun yang berpuasa pada hari Kamis (yakni Kamis pertama dari bulan Rajab) lalu shalat antara Isya' dan pertengahan malam, yakni pada malam Jum'at sebanyak 12 rakaat, pada setiap rakaatnya dia membaca surat Al-Fatihah sekali, surat Al-Qadar 3 kali, dan surat Al-Ikhlash sebanyak dua belas kali; dia memutus setiap dua rakaat dengan salam. Dan apabila selesai dari shalatnya dia membaca shalawat atasku (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) 70 kali, lalu membaca dalam sujudnya,

سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ

"Engkau Dzat yang Mahasuci (dari kekurangan dan hal tidak layak bagi kebesaran-Mu), Mahaagung, Rabb para malaikat dan Jibril."

Lalu mengangkat kepalanya dan membaca sebanyak 70 kali,

رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَتَجَاوَزَ عَمَّا تَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْأَعْظَمُ

Lalu sujud untuk yang kedua kalinya sambil membaca seperti yang dibaca pada sujud pertama, kemudian dia meminta hajatnya kepada Allah, pasti hajatnya akan dikabulkan." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah satu orang atau satu umat yang shalat dengan shalat ini kecuali Allah akan mengampuni seluruh dosanya, walaupun seperti buih di lautan, sebanyak bilangan pasir, seberat gunung, sebanyak daun pepohonan, dan di hari kiamat dia mendapat hak untuk memberikan syafaat bagi 700 orang dari keluarganya yang seharusnya masuk ke dalam neraka." (Lihat: Ihya' Ulumid Dien, oleh Imam Al-Ghazali: 1/202 dan Tabyin al-'Ajab, Ibnul Hajar, hal. 22 dan 24)

Para ulama telah membicarakan tentang shalat Raghaib tersebut. Seperti Imam al-Nawawi rahimahullah yang menyebutkannya sebagai perkara bid'ah yang buruk dan sangat munkar, karenanya wajib ditinggalkan dan dijauhi, sedangkan pelakunya wajib diingkari." (Fatawa al-Imam al-Nawawi, hal. 57)

Ibnu Nuhaas rahimahullah berkata, "Dia adalah bid'ah, hadits yang menerangkannya adalah maudlu' (palsu) berdasarkan kesepakat ulama ahli hadits." (Tambih al-Ghafilin, hal. 497)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Adapun Shalat Raghaib: tidak ada dasarnya, bahkan dia perkara yang diada-adakan dan tidak disunnahkan baik terhadap jama'ah atau perorangan. Sungguh telah disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk menghususkan malam Jum'at dengan shalat malam dan pagi harinya dengan berpuasa. Sedangkan atsar yang menyebutkan tentangnya adalah dusta dan palsu dengan kesepakatan ulama, dan tiadak seorangpun dari ulama salaf dan para imam yang menyebutkan dasarnya." (Majmu' Fatawa Libni Taimiyyah: 23/132, 134, dan 135)

Imam al-Thurthusyi telah menyebutkan awal munculnya shalat ini, sebagaimana yang beliau sandarkan kepada Abu Muhammad al-Maqdisi, bahwa pada awalnya di Baitul Maqdis tidak didapati shalat model ini (shalat Raghaib) yang dikerjakan pada bulan Rajab dan Sya'ban. Perkara ini pertama kali terjadi pada tahun 448 Hijriyah. Pada saat itu ada seorang laki-laki yang dikenal dengan Ibnu Abil Hamra' yang memiliki bacaan bagus. Dia shalat di Masjid al-Aqsha pada malam nisfu Sya'ban . . . sampai ucapan dari Abu Muhammad, "Adapun shalat Rajab tidak didapati di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 Hijriyah, yang sebelum itu kami tidak pernah melihat dan mendengar di sana." (Al-Haqadits wa al-Bida': hal. 103)

Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu'aat, Al-Hafidz Abul Khuthab, Abu Syamah, Ibnul Haajj, Ibnu Rajab, dan yang lainnya telah memastikan kemaudhu'an (palsunya) riwayat tentang shalat Raghaib. (Lihat Al-Baa'its 'ala Inkaril Bida' wal Hawadits, hal. 61, 62, 105; Lathaif al-Ma'arif, hal. 228 dan lainnya)

Walau demikian, banyak para tokoh dan pemimpin muslim yang tetap melestarikan ibadah bid'ah ini dengan alasan untuk menjaga perasaan orang awam dan supaya mereka tetap mau meramaikan masjidnya. Padahal siapa yang meyakini keabsahan shalat ini atau menganjurkannya maka dia telah menipu orang awam yang seharusnya dia beri petunjuk tentang hakikat yang sebenarnya dan juga telah berlaku mendustakan syariat.

Adapun Shalat Raghaib: tidak ada dasarnya, bahkan dia perkara yang diada-adakan dan tidak disunnahkan baik terhadap jama'ah atau perorangan. (Ibnu Taimiyah)

Isra' dan Mi'raj

Di antara Mu'jizat yang dialami Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah di-Isra'kannya beliau dari masjidl Haram menuju masjid al-Aqsha, kemudian di-Mi'rajkan menuju langit ke tujuh. Hampir di seluruh negeri muslim, terdapat perayaan peringatan malam Isra'-Mi'raj yang dilaksanakan pada malam ke-27 dari bulan Rajab, padahal peristiwa Isra' Mi'raj tidaklah terjadi pada malam tersebut.

Ibnul Hajar berkata, "Sebagian ahli kisah menuturkan peristiwa Isra' terjadi pada bulan Rajab." Beliau berkata, "Dan itu bohong," (Tabyin al-Ajab, hal. 6). Ibnu Rajab berkata, "Telah diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih, dari al-Qasim bin Muhammad bahwa Isranya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terjadi pada tanggal 27 Rajab, dan (kesimpulan ini) telah diingkari oleh Ibrahim al Harbi dan lainnya." (Zaad al-Ma'ad, Ibnul Qayyim: 1/275)

Ibnul Hajar telah menyebutkan dalam Fathul Baari (7/242-243) beberapa pendapat tentang bulan terjadinya Mi'raj: Rajab, Rabi'ul Awal, Ramadlan, atau Syawal.

Ibnu Taimiyah juga pernah menyebutkan bahwa tidak ada dalil pasti yang menerangkan tentang bulannya dan tanggalnya. Pendapat dalam hal itu sangat banyak dan beragam, tidak ada yang dikuatkan. (Lihat Lathaif al-Ma'ruf, Ibnu Rajab, hal. 233)

Dan seandainya diketahui kepastian malam Isra' dan Mi'raj, maka tidak disyariatkan bagi seseorang mengistimewaknnya dengan ibadah dan perilaku tertentu. Sebabnya, karena tidak ada keterangan bahwa Nabi, atau para sahabat, atau Tabi'in mengistimewakan malam tersebut atas yang lainnya. Apalagi dengan mengadakan perayaan untuk memperingatinya, padahal perayaan tersebut termasuk bid'ah yang munkar.

Dan seandainya diketahui kepastian malam Isra' dan Mi'raj, maka tidak disyariatkan bagi seseorang mengistimewaknnya dengan ibadah dan perilaku tertentu.

Menyembelih di bulan Rajab

Pada dasarnya, menyembelih hewan untuk Allah pada bulan Rajab secara umum tidak dilarang, sebagaimana menyembelih pada bulan selainnya. Tapi, orang-orang jahiliyah biasa melakukan korban (penyembelihan) yang disebut dengan 'Athirah. Karenanya para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, namun mayoritas mereka menyatakan bah hal itu telah dibatalkan oleh Islam berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, "Tidak ada Fara' (anak pertama dari unta atau kambing yang disembelih sebagai persembahan bagi berhala) dan 'Athirah (hewan yang disembelih pada sepuluh hari pertama dari bulan Rajab sebagai persembahan bagi berhala, juga dikenal dengan Rajabiyah)."

Sebagian yang lain berpendapat tetap menggapnya sebagai sunnah. Dasarnya, beberapa hadits yang menunjukkan dibolehkannya. Hal ini dijawab, bahwa hadits Abu Hurairah radliyallah 'anhu lebih shahih dan kuat, maka ia yang lebih layak diamalkan. Bahkan ada sebagian ulama, seperti Ibnul Mundzir menyatakan hadits-hadits tersebut telah dinaskh (dihapus), karena masuk Islamnya Abu Hurairah yang belakangan. Maka dibolehkannya menyembelih hewan dalam rangka ta'abbudan (ibadah) pada awal Islam, lalu dinaskh, dan ini adalah pendapat yang lebih rajih. (Lihat Lathaif al-Ma'arif, hal. 227 dan Al-I'tibaar fin Naasikh wal Mansukh minal Atsar, Imam Al-Hazimi, hal. 388-390)

Imam Al-Hasan al-Bashri berkata, "Di dalam Islam tidak ada 'Athirah, sesungguhnya 'Athirah pada zaman jahiliyah, salah seorang mereka berpuasa dan ber'Athirah." (Lathaif al-Ma'arif, hal. 227)

Ibnu Rajab menyerupakan penyembelihan di bulan Rajab dengan mengadakan hari tertentu dari bulan Rajab untuk berpesta dengan makan manisan dan semisalnya. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma, dia tidak suka Rajab dijadikan hari raya." (Lathaif al-Ma'arif, hal. 227)

Menghususkan puasa dan i'tikaf di bulan Rajab

Ibnu Rajab berkata, "Adapun puasa, tidak ada keterangan yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya tentang keutamaan puasa khusus pada bulan Rajab." (Lathaif al-Ma'arif, hal. 228)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata mengenai hadits-hadits tentang kekhususan berpuasa di bulan Rajab, “Seluruh hadits-haditsnya lemah, bahkan maudlu' (palsu), tidak ada seorang ulama pun yang bersandar padanya. Hadits-hadits tentang keutamaanya bukan saja dhaif tapi umumnya termasuk maudlu' dan dusta." . . Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, dari Ibnu Majah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa Beliau melarang puasa di bulan Rajab, namun dalam isnadnya masih perlu diteliti. Tapi terdapat riwayat shahih bahwa Umar bin Khathab pernah memukul tangan manusia agar mengambil makanan pada bulan Rajab dan berkata, "Jangan kalian serupakan dengan Ramadlan . . sedangkan menghususkan I'tikaf pada tiga bulan Rajab, Sya'ban, dan Ramadlan saya tidak mengetahui ada perintahnya. Tapi siapa berpuasa yang masyru' dan ingin beri'tikaf dalam puasanya itu, boleh-boleh saja. Dan jika beri'tikaf tanpa puasa terdapat dua pendapat yang masyhur menurut ahli ilmu." (Majmu' Fatawa: 25/290-292)

Puasa yang dilarang di bulan Rajab

Memang tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan puasa khusus bulan Rajab. Namun bukan berarti tidak boleh berpuasa sunnah sama sekali di dalamnya, padahal banyak nash-nash secara umum yang menyebutkan adanya puasa sunnah baik di bulan Rajab atau lainnya; misalnya, puasa Senin-Kamis, tiga hari setiap bulan, puasa Dawud (sehari puasa-sehari tidak). Sesungguhnya puasa yang dimakruhkan, menurut Al-Thurthusi adalah puasa dalam tiga bentuk berikut:

1. Apabila kaum muslimin menghususkan puasa setiap tahunnya, seperti yang banyak dilakukan oleh kalangan awam dan jahil terhadap syari'ah, sehingga terkesan seolah-olah hukumnya fardlu sebagaimana puasa Ramadlan.

2. Diyakini bahwa puasa tersebut hukumnya sunnah dan sangat-sangat dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana shalat sunnah rawatib.

3. Diyakini puasa di dalamnya akan mendapat pahala besar dan fadhilah yang agung daripada puasa di bulan selainnya. Keutamaan puasa ini diyakini seperti puasa Asyura, seperti keutamaan shalat di akhir malam daripada awalnya. Dalam hal ini masuk wilayah fadhail (keutamaan) bukan wilayah sunnah atau wajib. Kalau seandainya benar seperti itu, pastinya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menjelaskannya atau melaksanakannya walau sekali dalam hidupnya, namun jika tidak pernah melaksanakannya, maka batallah keyakinan yang memiliki keutamaan khusus.

Tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan puasa khusus bulan Rajab. Namun bukan berarti tidak boleh berpuasa sunnah sama sekali di dalamnya, . .

Umrah di bulan Rajab

Sebagain orang sangat bersemangat melakukan umrah pada bulan Rajab dengan keyakinan bahwa umrah pada bulan itu memiliki keistimewaan yang lebih. Keyakinan ini tidak memiliki dasar dalil. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma, berkata: "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan umrah sebanyak empat kali, salah satunya di bulan Rajab." Maka Aisyah berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan umrah kecuali dia ikut serta, dan sama sekali beliau tidak pernah umrah di bulan Rajab." (HR. Bukhari dalam Shahihnya no. 1776)

Hal ini menunjukkan bahwa Aisyah sepakat dengan Ibnu Umar tentang jumlah umrahnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu empat kali. Namun beliau tidak sepakat dengan Ibnu Umar tentang penetapan bulan umrahnya shallallahu 'alaihi wasallam. Aisyah menganggap Ibnu Umar lupa, karenanya beliau radliyallah 'anha menyatakan bahwa Ibnu Umar senantiasa ikut serta menemani Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam umrahnya, namun beliau tidak pernah berumrah pada bulan Rajab.

Ibnul 'Aththar berkata, "Kabar yang sampai kepadaku tentang penduduk Makkah (semoga Allah menambah kemuliaan Makkah) tentang kebiasaan mereka memperbanyak (menyeringkan) umrah pada bulan Rajab, dan kebiasaan ini adalah persoalan yang saya tidak mengetahui dasar (dalil)nya." (Al-Musajalah Baina Al-'Izz bin Abdissalam wa Ibnus Shalah, hal. 56. Lihta juga : Fatawa al-Syaikh Muhammad bin Ibrahim: 6/131)

Al-Allamah Ibnu Bazz (dalam Fatawa Islamiyah, dikoleksi Prof. Muhammad: 2/303-304) menuturkan tentang waktu yang paling afdhal untuk melaksanakan umrah: Bulan Ramadlan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Umrah di Bulan Ramadlan menyamai haji," setelah itu, Umrah di bulan Dzul Qa'dah, karena seluruh umrah beliau shallallahu 'alaihi wasallam dilaksanakan pada bulan Dzul Qa'dah. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu." (QS. Al-Ahzab: 21)

"Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan umrah kecuali dia ikut serta, dan sama sekali beliau tidak pernah umrah di bulan Rajab." (HR. Bukhari dari perkataan Aisyah)

Zakat di bulan Rajab

Sebagain penduduk negeri menjadikan bulan Rajab sebagai waktu mengeluarkan zakat. Ibnu Rajab berkata, "Tidak ada dasar untuk masalah itu dalam sunnah dan tidak diketahui dari salah seorang salaf. . . pada prinsipnya: zakat wajib dikeluarkan apabila sudah sempurna haul dan cukup nishab. Setiap orang memiliki haul yang khusus (tersendiri) sesuai waktu dia memiliki nishab harta. Jika sempurna haulnya, wajib mengeluarkan zakatnya pada bulan apa saja." Kemudian beliau menyebutkan bolehnya menyegerakan zakat pada waktu yang mulia seperti Ramadlan, . . . " (Lathaif al-Ma'arif: 231-232)

Tidak ada peristiwa besar pada bulan Rajab

Ibnu Rajab berkata, "Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab terjadi beberapa peristiwa besar, padahal tidak ada keterangan yang shahih tentang hal itu. Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dilahirkan pada malam pertama dari bulan tersebut, beliau diutus pada tanggal 27-nya, dan ada pendapat pada tanggal 25-nya, padahal riwayat tentang itu tidak ada yang shahih." (Lathaif al-Ma'arif: 233)

Nasihat untuk para dai

Pada hari ini banyak dai yang melestarikan beberapa perkara bid'ah musiman, seperti bid'ah di bulan Rajab. Sebenarnya sebagian mereka tahu perkara itu tidak disyariatkan, namun dengan alasan takut orang-orang tidak sibuk dengan ibadah kalau perkara bid'ah itu ditinggalkan, maka perkara bid'ah itu terus dilestarikan. Padahal perkara bid'ah adalah dosa yang paling berbahaya sesudah syirik. Ditambah cara dakwah dan metode merubah sangat berbahaya, menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Wajib bagi seorang da'i untuk menyeru manusia hanya kepada sunnah yang tanpanya istiqamah tidak bisa tegak.

. . Dan perkataan, amal, dan niat tidak bisa tegak kecuali sesuai dengan sunnah. . .

Sufyan al-Tsauri berkata, "Para Fuqaha' berkata, "Perkataan tidak bisa tegak tanpa amal. Perkataan dan amal tidak bisa tegak tanpa niat. Dan perkataan, amal, dan niat tidak bisa tegak kecuali sesuai dengan sunnah." (Al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah: 1/333)

Wajib bagi mereka untuk mempelajari sunnah dan mengajarkannya serta menyeru dirinya dan orang di sekitarnya untuk menerapkannya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang menjalankan satu amalan (ibadah) yang tidak ada perintahnya dari kami, maka dia tertolak." (Muttafaq 'alaih)

Abul 'Aliyah pernah berkata kepada murid-muridnya, "Pelajarilah Islam, jika kalian sudah mempelajarinya jangan benci kepadanya. Dan tetaplah di atas shiratal mustaqim (jalan yang lurus), sesungguhnya shiratahl mustaqim adalah Islam. Jangan menyimpang dari shiratal mustaqim, baik ke kanan maupun ke kiri. Peganglah sunnah Nabi kalian dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini yang menyebabkan kebencian dan permusuhan di antara para pelakunya." (Al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah: 1/338)

. . .Peganglah sunnah Nabi kalian dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini yang menyebabkan kebencian dan permusuhan di antara para pelakunya. . .

Terakhir, para du'at hari ini dan segenap umat Islam dituntut untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam semata dalam setiap perkaranya secara sempurna sebagaimana dituntut untuk mengikhlaskan amal semata-mata LILLAH TA'ALA. Hal ini menjadi syarat mutlak jika mereka mengharapkan keselamatan, keberuntungan, kemuliaan dan mendapatkan pertolongan Allah 'Azza wa Jalla.

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahfi: 110)

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (QS. Al-Hajj: 40)

• Diterjemahkan (dengan sedikit penambahan) oleh Purnomo WD, dari Artikel Fadhail Syahri Rajaba Fi al-Miizaan, Faishal bin Ali Bu'dani.

Tak Perlu Malu Mengaku Tak Tahu


ADA kecenderungan pada diri manusia untuk ingin menjadi sosok paling tahu. Tahu tentang banyak hal, baik menyangkut ilmu dunia maupun akhirat. Bahkan hal-hal tak penting pun, ada semacam ego untuk ingin menjadi orang pertama yang tahu. Dengan mengetahui sesuatu lebih dulu, manusia merasa dirinya menjadi orang penting. Semua orang akan datang dan merujuk kata-katanya.

Ego manusia seperti ini, nama kerennya adalah ghorizah baqo. Naluri untuk mempertahankan diri dan gengsi apabila ada hal-hal yang tak diketahuinya. Jadilah orang-orang seperti ini menjadi sosok yang sok tahu apabila ia tidak tahu tapi dituntut untuk tahu. Ia akan uring-uringan apabila ada hal yang terlewat sehingga membuatnya tidak tahu. Padahal tidak tahu adalah sebuah kewajaran dalam kehidupan agar manusia tahu kelemahan dirinya bahwa tidak semua hal di dunia ini diketahuinya.

Dari titik inilah, manusia seharusnya merenung bahwa ternyata sangat banyak hal di dunia ini yang masih tidak diketahuinya. Sehingga tak pantas bagi manusia untuk bersikap sok-sokan menjadi orang yang sok tahu. Jujurlah mengatakan tidak tahu bila memang ada hal yang tak diketahuinya. Tak perlu malu, tak perlu takut dan tak perlu gengsi.

…Jujurlah mengatakan tidak tahu bila memang ada hal yang tak diketahuinya. Tak perlu malu, tak perlu takut dan tak perlu gengsi…

Ada kalanya kita lebih baik tidak tahu apabila ketahuan itu hanya akan membawa kita pada sesuatu yang berakibat dosa. Ghibah misalnya. Biarlah kita tidak tahu apa aib apa yang menimpa tetangga daripada tahu tapi kemudian kita menjadi pihak yang ikut menyebarkannya.

Namun ada kalanya ketidaktahuan itu melecut diri untuk semakin rajin menuntut ilmu. Karena sungguh, Allah mencintai orang yang berilmu pengetahuan dan mengangkatnya beberapa derajat daripada orang yang tidak berilmu. Ketidaktahuan ini adalah bekal untuk untuk menyadarkan diri bahwa ternyata sehebat apapun manusia, ternyata ada sisi-sisi ilmu dan kehidupan yang tak diketahuinya. Apabila hal ini disadari dengan sepenuh hati maka akan jauhlah diri dari sifat sombong, merasa benar sendiri, takabur dan riya’ atau pamer.

Bersabarlah menjadi orang yang tidak tahu, karena itu berarti terbuka lahan untuk mencari ilmu. Tak perlu menyalahkan orang lain, tak guna menyesali diri mengapa sampai tidak tahu dan tak membawa manfaat pula ketika hati gundah hanya karena ketidaktahuan ini. Dari sini terbuka ladang pahala untuk menata hati apakah langkah menuntut ilmu itu lillahi Ta’ala karena Allah semata ataukah ada niat lain demi eksistensi saja?

…Bersabarlah menjadi orang yang tidak tahu, karena itu berarti terbuka lahan untuk mencari ilmu …

Hanya Allah dan yang bersangkutan saja yang tahu kondisi niat dalam hati. Karena itu sungguh merugi mereka yang amalnya banyak namun seperti debu ditiup angin alias sia-sia ketika ada niat lain yang mengotori. Karena itu luruskan niat dalam memberantas ketidaktahuan ini menjadi tahu yang mencerahkan umat karena niat yang lurus dan ikhlas demi Allah semata. Semoga kita berada di barisan orang-orang seperti ini, insya Allah. Barisan orang yang tak malu mengaku tak tahu tapi kemudian rajin menimba ilmu demi mengharap ridho-Nya saja, bukan karena ingin dipandang manusia. Wallahu ‘alam. [Ria Fariana/voa-islam.com]

Sendal Jepit Istriku

Baitijannati.

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh… betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan. “Ummi… Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar…? Selalu saja, kalau tak keasinan…kemanisan, kalau tak keaseman… ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.”Sabar bi…, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul…? ” ucap isteriku kalem. “Iya… tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini…!” Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.
***
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan ‘baiti jannati’ di rumahku. Namun apa yang terjadi…? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian… ouw… berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci.
Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. “Ummi…ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini…?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi… isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah…?” Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. “Ah…wanita gampang sekali untuk menangis…,” batinku berkata dalam hati. “Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat…? Isteri shalihat itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya. “Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
***
Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku. “Aduh, Mi… abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku. “Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,” jawab isteriku. “Lho, kok bilang gitu…?” selaku. “Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,” ucap isteriku lagi. “Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan. Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai.
Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku. “Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar.
Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini dia mujahidahku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku.
Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar memperlakukan isterinya dengan baik. Sedang aku…? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! “Maryam…!” panggilku, ketika tubuh berbaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. “Abi…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku.
***
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu…,”ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku…?
Semoga berguna bagi kita semua….amin ya rabbal alamien