Oleh: Muhammad Rahmat Kurnia
Bagaimana syariah bisa tegak bila masyarakat perutnya lapar!” Begitu, kata sebagian orang. Memang, harus diakui bahwa langkah perjuangan bukanlah hal mudah. Penuh kesulitan. Bukan sekadar masalah ekonomi, setumpuk masalah lain pun terus menimpa. Sebut saja secara internal, kondisi ekonomi umat Islam masih terpuruk. Kemiskinan masih di atas 35 juta jiwa. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Hermawan, angka kemiskinan ini hingga 2010 diprediksi tidak akan jauh berbeda dengan angka kemiskinan tahun ini. Hanya saja, kondisi ini sejatinya justru menjadi dorongan besar untuk berjuang lebih sungguh-sungguh. Sebab, tanpa perubahan sistem dan orang niscaya kondisi tak akan pernah beranjak. Tengoklah para pendukung dakwah para Nabi banyak dari kalangan miskin, misalnya Bilal bin Rabah, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.
Selain itu, ada sikap kaum Muslim yang menerima keadaan, puas dengan kondisi yang ada. Bahkan, mengatakan sistem yang ada sudah final. Perjuangan pun jalan sendiri-sendiri. Upaya penyatuan langkah sering kali kandas di tengah pragmatisme. Akhirnya, tidak jarang pihak yang disebut ulama dan tokoh Islam mendiamkan kemungkaran. Sebagai contoh kecil, tak banyak kalangan Islam yang bersuara terkait skandal century gate.
Pada sisi lain, penguasa kini semakin liberal dan pro Barat (west friendly). Sampai-sampai merasa perlu membuat patung Obama. Padahal, dialah yang menumpahkan darah kaum Muslim di Afghanistan dan Pakistan sekarang. Suara kritis dari parlemen hilang karena partai-partai berkoalisi menjadi pendukung partai penguasa. Kini, tengah ada upaya untuk merubah UU Antiterorisme sedemikian rupa sehingga “Penindakan harus dimulai sejak tahap provokasi & eksploitasi radikalisme”. Dengan kata lain, Internal Security Act (ISA) seperti di Malaysia sedang dijajaki untuk dihidupkan. Hal ini dapat bersifat liar menjadi kriminalisasi pendakwah. Dari eksternal pun tantangan luar negeri masih besar.
Melihat kondisi demikian, haruskah pesimis? Jawabannya tegas: tidak! Sebaliknya, kaum Mukmin harus selalu optimis. Mengapa? Pertama, kesulitan merupakan sunnatullah dalam perjuangan. Allah SWT menegaskan: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (TQS. al-Baqarah[2]:214). Imam al-Qurthubi memaknai bahwa mereka ditimpa kebutuhan dan keserbakurangan/kefakiran yang sangat, celaan dan malapetaka, serta keguncangan berupa tidak takut dan gentarnya musuh-musuh terhadap mereka. Hal ini menjadikan mereka menyangka lambatnya pertolongan Allah. Namun, justru dalam kondisi demikian Allah SWT menyatakan bahwa pertolongan-Nya dekat, Dia akan meninggikan kaum Mukmin di atas musuh-musuh mereka, memenangkannya, meninggikan kalimat-Nya, memberikan janji yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan memadamkan api peperangan para musuhnya (Jami al-Bayan fi at-Ta`wil al-Quran, Juz IV, hal. 288). Ini menunjukkan bahwa rasa pesimis yang hampir hinggap di dada para sahabat ditepis oleh Allah SWT. Akhirnya, mereka pun kembali menyadari bahwa kesulitan merupakan pangkal keberhasilan. Kesulitan merupakan sunnatullah dalam perjuangan. Optimisme mereka pun kembali.
Kedua, Allah SWT menjanjikan kemenangan. Di antara janji-Nya adalah: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik (TQS. an-Nur[24]:55). Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan: “Ini adalah janji dari Allah kepada Rasul-Nya SAW. Dia akan menjadikan umatnya sebagai para khalifah di bumi ini, yakni para pemimpin dan para wali bagi manusia. Melalui merekalah berbagai negeri akan baik, pada merekalah para hamba akan tunduk. Dia pun akan mengubah rasa takut mereka menjadi rasa aman dan keadilan pada mereka. Allah telah membuktikan hal ini” (Tafsir Ibnu Katsir, Juz VI, hal. 77). Janji ini akan kembali terbukti bagi umat Muhammad masa sekarang.
Ketiga, kini ada kelompok umat Islam yang teguh pada kebenaran, menyerukan Islam dengan sejujurnya. Tidak sedikit para aktivisnya ditangkap karena dakwah yang dilakukannya. Kata Nabi SAW, mereka yang tetap bersikap demikian akan mendapatkan kemenangan. Realitas ini persis sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW: “Akan selalu ada kelompok dari umatku yang berdiri di atas kebenaran, dan mereka dalam kemenangan. Orang-orang yang menentang dan melawan mereka tidak akan membahayakan mereka hingga Allah Tabaroka wa Ta'ala mendatangkan kemenangan pada saat mereka dalam kondisi seperti itu (di atas kebenaran dan menang) (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Baihaqi). Hadits ini mengajarkan hal penting untuk dilakukan adalah konsisten berada dalam kebenaran dan istiqamah menyerukannya. Kesulitan apapun tak akan pernah membahayakan. Dan, kemenangan hanya tinggal waktu saja.
Keempat, upaya menegakkan Islam secara kaffah makin mendapatkan sambutan, terlebih dari kalangan muda. Bukan hanya berumur muda, mereka banyak dari kalangan mustadh'afin, juga berasal dari kalangan menengah. Padahal, mustadh'afin, kalangan pemuda, dan kelas menengah merupakan ujung tombak perjuangan. Hal ini mengingatkan kita pada perjuangan Nabi SAW yang juga didukung oleh kalangan ini. Beliau didukung oleh mustadh'afin seperti Bilal, Abu Dzar, dan banyak mantan budak. Beliau sendiri diangkat menjadi Nabi dan Rasul pada usia masih belia, 40 tahun. Pendukung awal beliau tercatat banyak dari kaum muda seperti Ali bin Abi Thalib (8), Thalhah bin Abdullah (11), Arqam bin Abi Arqam (12), Said bin Zaid (20), Saad bin Abi Waqash (17), Utsman bin Affan dan Khabab bin Art (20-an), Mush'ab bin Umair yang kelak menjadi utusan Nabi di Madinah (24), Umar bin Khathab (26), Bilal bin Robah (30), Abu Bakar (37), Hamzah bin Abdul Muthalib (42), dll. Sejarah kemanusiaan pun mencatat perubahan senantiasa dipelopori oleh kalangan muda. Realitas ini meniscayakan optimisme dalam perjuangan.
Kelima, kebobrokan, ketidakadilan, korupsi, dan kezhaliman yang terus terjadi semakin menyadarkan masyarakat bahwa sistem sekulerisme, kapitalisme, dan demokrasi yang kini diterapkan tetap melanggengkan semua itu. Muncul tuntutan sistem alternatif. Dan, sistem alternatif itu hanya satu: Islam. Tidaklah mengherankan pertengahan 2009 tidak kurang hadir 7000 orang dalam acara Muktamar Ulama Nasional (MUN) di Istora Senayan, Jakarta. Mereka adalah ulama yang datang dari berbagai daerah Indonesia. Seruannya sama, jalan keselamatan manusia adalah penerapan syariah dan penyatuan dalam Khilafah. Sambutan dari para ulama ini menggambarkan adanya harapan dan optimisme baru.
Jelaslah, secara imani, kemenangan tinggal menunggu waktu. Secara faktual, kini sedang menggelinding perjuangan yang memadukan para ulama dan kaum muda dari kelas menengah ditopang oleh kekuatan mustadh'afin. Sementara, kalangan atas mulai melirik Islam. Hal ini meniscayakan makin bertambahnya optimisme dalam perjuangan menegakkan Islam.
sumber : www.mediaumat.com
Bagaimana syariah bisa tegak bila masyarakat perutnya lapar!” Begitu, kata sebagian orang. Memang, harus diakui bahwa langkah perjuangan bukanlah hal mudah. Penuh kesulitan. Bukan sekadar masalah ekonomi, setumpuk masalah lain pun terus menimpa. Sebut saja secara internal, kondisi ekonomi umat Islam masih terpuruk. Kemiskinan masih di atas 35 juta jiwa. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Hermawan, angka kemiskinan ini hingga 2010 diprediksi tidak akan jauh berbeda dengan angka kemiskinan tahun ini. Hanya saja, kondisi ini sejatinya justru menjadi dorongan besar untuk berjuang lebih sungguh-sungguh. Sebab, tanpa perubahan sistem dan orang niscaya kondisi tak akan pernah beranjak. Tengoklah para pendukung dakwah para Nabi banyak dari kalangan miskin, misalnya Bilal bin Rabah, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.
Selain itu, ada sikap kaum Muslim yang menerima keadaan, puas dengan kondisi yang ada. Bahkan, mengatakan sistem yang ada sudah final. Perjuangan pun jalan sendiri-sendiri. Upaya penyatuan langkah sering kali kandas di tengah pragmatisme. Akhirnya, tidak jarang pihak yang disebut ulama dan tokoh Islam mendiamkan kemungkaran. Sebagai contoh kecil, tak banyak kalangan Islam yang bersuara terkait skandal century gate.
Pada sisi lain, penguasa kini semakin liberal dan pro Barat (west friendly). Sampai-sampai merasa perlu membuat patung Obama. Padahal, dialah yang menumpahkan darah kaum Muslim di Afghanistan dan Pakistan sekarang. Suara kritis dari parlemen hilang karena partai-partai berkoalisi menjadi pendukung partai penguasa. Kini, tengah ada upaya untuk merubah UU Antiterorisme sedemikian rupa sehingga “Penindakan harus dimulai sejak tahap provokasi & eksploitasi radikalisme”. Dengan kata lain, Internal Security Act (ISA) seperti di Malaysia sedang dijajaki untuk dihidupkan. Hal ini dapat bersifat liar menjadi kriminalisasi pendakwah. Dari eksternal pun tantangan luar negeri masih besar.
Melihat kondisi demikian, haruskah pesimis? Jawabannya tegas: tidak! Sebaliknya, kaum Mukmin harus selalu optimis. Mengapa? Pertama, kesulitan merupakan sunnatullah dalam perjuangan. Allah SWT menegaskan: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (TQS. al-Baqarah[2]:214). Imam al-Qurthubi memaknai bahwa mereka ditimpa kebutuhan dan keserbakurangan/kefakiran yang sangat, celaan dan malapetaka, serta keguncangan berupa tidak takut dan gentarnya musuh-musuh terhadap mereka. Hal ini menjadikan mereka menyangka lambatnya pertolongan Allah. Namun, justru dalam kondisi demikian Allah SWT menyatakan bahwa pertolongan-Nya dekat, Dia akan meninggikan kaum Mukmin di atas musuh-musuh mereka, memenangkannya, meninggikan kalimat-Nya, memberikan janji yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan memadamkan api peperangan para musuhnya (Jami al-Bayan fi at-Ta`wil al-Quran, Juz IV, hal. 288). Ini menunjukkan bahwa rasa pesimis yang hampir hinggap di dada para sahabat ditepis oleh Allah SWT. Akhirnya, mereka pun kembali menyadari bahwa kesulitan merupakan pangkal keberhasilan. Kesulitan merupakan sunnatullah dalam perjuangan. Optimisme mereka pun kembali.
Kedua, Allah SWT menjanjikan kemenangan. Di antara janji-Nya adalah: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik (TQS. an-Nur[24]:55). Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan: “Ini adalah janji dari Allah kepada Rasul-Nya SAW. Dia akan menjadikan umatnya sebagai para khalifah di bumi ini, yakni para pemimpin dan para wali bagi manusia. Melalui merekalah berbagai negeri akan baik, pada merekalah para hamba akan tunduk. Dia pun akan mengubah rasa takut mereka menjadi rasa aman dan keadilan pada mereka. Allah telah membuktikan hal ini” (Tafsir Ibnu Katsir, Juz VI, hal. 77). Janji ini akan kembali terbukti bagi umat Muhammad masa sekarang.
Ketiga, kini ada kelompok umat Islam yang teguh pada kebenaran, menyerukan Islam dengan sejujurnya. Tidak sedikit para aktivisnya ditangkap karena dakwah yang dilakukannya. Kata Nabi SAW, mereka yang tetap bersikap demikian akan mendapatkan kemenangan. Realitas ini persis sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW: “Akan selalu ada kelompok dari umatku yang berdiri di atas kebenaran, dan mereka dalam kemenangan. Orang-orang yang menentang dan melawan mereka tidak akan membahayakan mereka hingga Allah Tabaroka wa Ta'ala mendatangkan kemenangan pada saat mereka dalam kondisi seperti itu (di atas kebenaran dan menang) (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Baihaqi). Hadits ini mengajarkan hal penting untuk dilakukan adalah konsisten berada dalam kebenaran dan istiqamah menyerukannya. Kesulitan apapun tak akan pernah membahayakan. Dan, kemenangan hanya tinggal waktu saja.
Keempat, upaya menegakkan Islam secara kaffah makin mendapatkan sambutan, terlebih dari kalangan muda. Bukan hanya berumur muda, mereka banyak dari kalangan mustadh'afin, juga berasal dari kalangan menengah. Padahal, mustadh'afin, kalangan pemuda, dan kelas menengah merupakan ujung tombak perjuangan. Hal ini mengingatkan kita pada perjuangan Nabi SAW yang juga didukung oleh kalangan ini. Beliau didukung oleh mustadh'afin seperti Bilal, Abu Dzar, dan banyak mantan budak. Beliau sendiri diangkat menjadi Nabi dan Rasul pada usia masih belia, 40 tahun. Pendukung awal beliau tercatat banyak dari kaum muda seperti Ali bin Abi Thalib (8), Thalhah bin Abdullah (11), Arqam bin Abi Arqam (12), Said bin Zaid (20), Saad bin Abi Waqash (17), Utsman bin Affan dan Khabab bin Art (20-an), Mush'ab bin Umair yang kelak menjadi utusan Nabi di Madinah (24), Umar bin Khathab (26), Bilal bin Robah (30), Abu Bakar (37), Hamzah bin Abdul Muthalib (42), dll. Sejarah kemanusiaan pun mencatat perubahan senantiasa dipelopori oleh kalangan muda. Realitas ini meniscayakan optimisme dalam perjuangan.
Kelima, kebobrokan, ketidakadilan, korupsi, dan kezhaliman yang terus terjadi semakin menyadarkan masyarakat bahwa sistem sekulerisme, kapitalisme, dan demokrasi yang kini diterapkan tetap melanggengkan semua itu. Muncul tuntutan sistem alternatif. Dan, sistem alternatif itu hanya satu: Islam. Tidaklah mengherankan pertengahan 2009 tidak kurang hadir 7000 orang dalam acara Muktamar Ulama Nasional (MUN) di Istora Senayan, Jakarta. Mereka adalah ulama yang datang dari berbagai daerah Indonesia. Seruannya sama, jalan keselamatan manusia adalah penerapan syariah dan penyatuan dalam Khilafah. Sambutan dari para ulama ini menggambarkan adanya harapan dan optimisme baru.
Jelaslah, secara imani, kemenangan tinggal menunggu waktu. Secara faktual, kini sedang menggelinding perjuangan yang memadukan para ulama dan kaum muda dari kelas menengah ditopang oleh kekuatan mustadh'afin. Sementara, kalangan atas mulai melirik Islam. Hal ini meniscayakan makin bertambahnya optimisme dalam perjuangan menegakkan Islam.
sumber : www.mediaumat.com