Senin, 26 Oktober 2009

Pentingnya merencanakan Masa Depan

kita pernah mengalami bayang-bayang kecemasan terhadap masa depan. Kecemasan itu bisa merampas kenikmatan dan kenyaman hidup , serta membuat kita selalu gelisah, kesedihan dan tak nyaman menikmati kehidupan ini.
Saudaraku, manusia tak mungkin menikmati ketentraman dan ketenangan sebelum merasa bahwa dirinya aman, percaya dan yakin terhadap sumber rizkinya. Dan menyakini bahwa tiada seorangpun yang bisa menjamin dan memberikan semua itu selain hanya Allah , Tuhan yang Maha Kaya.
Apakah melakukan perencanaan untuk masa depan, merupakan sesuatu yang buruk, atau merupakan bukti pengingkaran terhadap rasa tawakal ?
Keyakinan terhadap Allah ini merupakan rahasia keunggulan bagi hamba yang beriman. Dan inilah bentuk kepercayaan yang tulus kepada Allah dan tawakal seorang hamba kepada-Nya.

Rasulullah tak pernah sekalipun merasa cemas terhadap masa depan. Sebagaimana sabda Rasulullah, “ Andaikata aku memiliki emas sebanyak gunung Uhud, tak akan kubiarkan berada dalam genggamanku lebih dari tiga malam. Aku hanya mengambil sedikti darinya, untuk membayar hutang “, (Hr. Bukhari,6443).

Lalu apakah melakukan perencanaan untuk masa depan, merupakan sesuatu yang buruk, atau merupakan bukti pengingkaran terhadap rasa tawakal ?

Ada beberapa hal yang menyebabkan situasi kecemasan akan masa depan ini terjadi. Diantaranya :
1. Lemahnya keimanan kita terhdap allah SWT
2. Menurunnya rasa tawakal kepda Allah
3. Terlalu memikirkan (berharap) akan kejayaan (kemakmuran) masa depan
4. Terlalu memikirkan kemungkinan yang akan menimpa dimasa depan dengan pola pikir dan cara pandang yang negative.
5. Kurangnya pemahaman tentang tujuan dari penciptaan manusia.
6. Terlalu menggantungkan diri sendiri dan orang lain dalam urusan rizki,
7. sehingga terlupakan menggantungkan hidupnya kepada Allah , Tuhan yang telah menciptakan manusia dan pemberi rizki.
8. Dst.


Saudaraku , persoalan rizki memang sudah menjadi ketentuan Allah, Dia telah men-jamin rizki semua makhluk-Nya. Seorang hamba yang beriman harus meyakini hal ini, berbaik sangka kepada-Nya, serta janganlah terlalu membebani diri dan menghabis-kan waktu untuk mencemasakan masa depan.

Namun demikian , semua ini bukan berarti , seorang hamba beriman harus menyerah-kan semua urusannya kepada Allah dan hanya menunggu apa saja yang bakal terjadi tanpa berupaya dan berusaha sedikitpun. Karena bagaimanapun , langit tak pernah menurunkan hujan emas atau perak.

Kita ambil teladan, sahabat Abu Bakar bisa memiliki uang sejumlah 6.000 dinar dan yang 4.000 dinar ia sumbangkan untuk perjuangan agama. Jika dia tidak termasuk manusia yang menbuat perencanaan masa depannya, maka bagaimana mungkin dia mempunyai harta 6.000 dinar.
Karena rasa keimanan dan keyakinan bahwa Allah temah menjamin rizki semua makhluk-Nya , maka mereka tidak merisaukan masa depannya. Sehingga bernai menafkahkan semua hartanya dijalan Allah tanpa ragu dan takut sedikitpun.
Namun hal ini bukan berarti kita tidak mempersiapkan dan membuat perencanaan masa depan untuk bisa hidup damai dimasa depan. Dan ini bukan berarti kita menafikan pentingnya tawakal kepada Allah. KArena apa yang kita rencanakan dan usahakan tersebut merupakan bagian dari menjalani sarana yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan.

Saudaraku, dalam hidup ini , kita selalu dituntut untuk memilih dengan baik apa yangpenting dan sangat dibutuhkan oleh masa depan kita. Kita harus memilih dengan baik apa pekerjaan dan jenisnya, calon pendamping hidup yang baik untuk kita. Dst.

Sebagaimana, ditunjukkan Rasulullah pada saat member pengarahan kepada Sa’ad bin Waqas agar mempersiapkan masa depan dan tidak membiarkan anak keturunannya menjadai peminta-minta yang selalu menghiba kepada manusia lain.

Allah juga menunjukkan pentingnya perencanaan untuk masa depan, sebagaimana dalam Firman-Nya , yang artinya ,” Yusuf berkata ,”Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa ; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur “, (Qs. Yusuf : 47 -49).

Firman Allah, yang artinya ,” Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhan-nya pun menghendaki agar supaya mereka sampai pada kedewasaanya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Tuhan-mu ,” (Qs. Al-Kaffi : 82).

Tentang ayat diatas, Dr. Shalah al-Khalidi dalam Ma’a Lashashi al Sabiqin fi Al –Quran (227) , menyatakan ayat ini mengadung dalil diperbolehkannya menyimpan harta, menabung dan menyisihkannya dan digunakan pada saat dibutuhkan. Bahkan sebaiknya seorang hamba beriman menabung sebagian hartanya untuk menghadapi kebutuhan yang mendesak dan tak terduga. Semua ini tentu tidak bertentangan dengan prinsip tawakal kepada Allah SWT.

Dr Wahbah al Zuhaili, dalam tafsir Al Munir (12/278), juga menyatakan pentingnya melakukan perencanaan sebagaimana firman Allah dalam kisah Yusuf diatas. Dimana diterangkan bahwa Yusuf (berkat wahyu dan ilham dari Allah), menyarankan kepada raja untuk melakukan tindakan-tindakan strategis untuk mengadapi masa depan demi tercapainya kebaikan negeri dan umat.

Teladan alin tentang pentingnya perencanaan dan cermatnya pengaturan adalah sebagaimana dipraktekkan oleh beberapa sahabat Rasulullah saw, meskipun kebutuhan mereka sangat banyak, mereka tetap berupaya menabung atau menyimpan sebagian harta untuk persiapan hidup mereka dan keturunannya. Zubair ibn Awwam ra mewariskan kepada empat istrinya masing-masing sebesar 1.100.000 dirham. Dst.

Prof Salman al-audah menyatakan mengantisipasi msa depan bukan berate ingin lari dari masa kini dan menghidari sunatullah, melainkan sebagai upaya untuk mendorong agar bekerja lebih semangat. (harian Al-Jazirah,1423, ed.10951)

Sumber : Li madza al Khauf min al-Mustaqbal, Abdelaziz ibn Abdullah al Husaini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar