Senin, 26 Oktober 2009

Hal yang disukai belum tentu baik

Umumnya kita menggolongkan suatu peritiwa yang menimpa menjadi dua kelompok besar, yaitu peristiwa yang baik menurut kita dan peristiwa buruk. Sudut pandang ini juga bergantung pada latar belakang, budaya serta pandangan keyakinan masing-masing. Baik dan buruk suatu peristiwa seringkali menjadi bahan perdebatan yang berlarut-larut. Dan ini wajar karena adanya perbedaann standar keyakinan yang dianut masing-masing orang.

Bagi orang beriman, tentunya dari segala peristiwa yang dialami , selalu tertuju pada keyakinan bahwa hanya Allah yang mengetahui apa yang terbaik dan terburuk untuk hamba-Nya. Dan tentu tidak sama dengan pandangan manusia, sebab pengetahuan Allah tiada terbatas. Manusia hanya sanggup melihat tampilan luaran suatu peristiwa dan hanya mampu bersandar pada penglihatan yang terbatas. Oleh karena kekurangan informasi dan pemahaman ini membuat kita tidak menyukai sesuatu, padahal sebenarnya itu baik buat kita. Sebaliknya bisa saja kita mencintai sesuatu, padahal itu merupakan sebuah keburukan.

Untuk melihat kebaikan itu seorang hamba beriman harus menyerahkan rasa percayanya kepada kebijaksanan Allah yang tiada terbatas dan percaya bahwa ada kebaikan dalam segala hal yang terjadi.

Suatu hal yang dibenci kadang justru mendatangkan kesenangan, suatu hal yang disukai sering malah mendatangkan kesusahan. Janganlah merasa aman dengan kesenangan, karena dibalik itu bisa menimbulkan keudaratan. Saudaraku, janganlah merasa putus asa karena kelsulitan yang dihadapi.

Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,” diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah suatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui ,” (Qs. Al-Baqarah : 216).

Allah menyatakan dalam ayat ini, bahwa persitiwa yang dianggap baik oleh manusia , pada suatu ketika justru merugikan manusia itu sendiri. Begitu pula sesuatu yang sebenarnya ingin dihindari karena dianggap merugikan malah bisa menyebabkan kebahagiaan dan kedamaian.

Dengan menyakini hal ini, kita akan memiliki pandangan yang lebih baik. Kita akan selalu merasa bersyukur atas segala yang menimpa kita.

Saudaraku, seorang hamba tidak akan memperoleh kenikmatan surga kecuali ia telah mendapatkan ujian yang dibenci oleh jiwanya. Sebagaimana disabdakan Rasulullah saw, yang artinya ,” Surga itu dikelilingi (dipenuhi) oleh berbagai hal yang dibenci dan neraka itu dikelilingi oleh berbagai syahwat (kesenangan) hawa nafsu”, (Hr Bukhari Muslim).

Sesuatu yang dibenci adalah segala persitiwa atau keadaan yang dibenci oleh jiwa dan jiwa merasa terbebani olehnya. Bisa berupa musibah, bencana, kesungguhan atau pengorbanan jiwa dalam melaksanakan berbagai ketaatan dan menjauhi berbagai perbuatan maksiat, sabar menerima musibah dan berserah diri kepada ketentuan Allah terhadap musibah itu.

Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Rasulullah bersabda tentang sahabat yang kehilangan penglihatannya. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam hadits qudsi, yang artinya ,” Jika hamba-Ku diuji dengan (dicabutnya) nikmat dua buah benda yang dicintainya, kemudian ia bersabar, maka Aku akan menggantikan kedua benda tersebut dengan surga ,” (Hr Bukhari).

Dari riwayat Abu Hurairah, bahwa ketika Rasulullah saw menjenguk orang sakit, beliau bersabda, yang artinya ,” Beritakanlah kabar gembira, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla pernah berfirman, “Penyakit itu adalah api-Ku yang aku timpakan kepada hamba-Ku yang mukmin didunia ini, agar ia dapat selamat dari api neraka pada hari akhir nanti”. (Hr Bukhari dan Hakim).

Dengan memahami apa rahasia dibalik segala kesulitan adalah bagian dari ujian yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, kita dapat mengetahui bahwa cobaan itu adalah sunnah Rabbani yang sarat dengan hikmah dan rahmat-Nya.
Yakinlah saudaraku, sesungguhnya Allah tidak menetapkan sesuatu, baik dalam bentuk suatu ciptaan maupun syariat, melainkan didalamnya terdapat kebaikan dan rahmat bagi hamba-Nya. Terdapat hikmat yang sangat banyak dalam setiap musibah yang tidak diketahui dengan akal manusia biasa.

Inilah yang dinamakan nikmat tersebunyi, maka orang-orang shaleh terdahulu selalu gembira ketika mereka ditimpa suatu penyakit atau musibah, seperti gembiranya kita ketika mendapat kemewahan.
Rasulullah saw pun menyebutkan bahwa cobaan para Nabi dan orang-orang shaleh adalah penyakit, kefakiran dst. Kemudian Rasulullah saw bersabda, yang artinya, “ Sehingga salah seorang diantara mereka, merasa sangat gembira dengan bala yang menimpanya, seperti gembiranya salah seorang diantara kalian ketika mendapatkan kemewahan (kelapangan),” (Hr Ibn Majah).

Bahkan para salaf berkata, ‘Wahai anak Adam, nikmat Allah yang tidak engkau sukai yang telah diberikan kepadamu lebih besar (manfaatnya) dari nikmat Allah yang engkau sukai ‘. (Madarij as-Salikin).

Saudaraku, ingatlah selalu dari Abu Hurairah ra berkata , bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Sesungguhnya seseorang itu untuk memperoleh kedudukan disisi Allah, ia tidak akan mencapainya dengan amal perbuatannya. Allah akan memberikan ujian berupa sesuatu yang dibencinya hingga ia dapat mencapai kedudukan tersebut, “ (Hr Abu Ya’la dan Ibn Hibban).

Kadangkala kondisi kita yang prima, sehat, karier bagus, berlimpahkanya harta, membuat kita mudah bersikap berlebihan, membanggakan diri, dan akhirnya mengkufuri nikmat. Kita menjadi terlalu menikmati kegagahan, kekuatan dan kondisi yang nyaman. Kondisi ini rentan untuk justru membuat kita makin jauh dari sikap taat dan tunduk kepada Allah dan tawadhu dalam menghambakan diri kepada Allah.

Allahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar