Ridha dan marah termasuk perbuatan manusia. Karena itu manusia akan diberi pahala atas perbuatannya dan akan disiksa atas kemarahannya. Sedangkan qadha sendiri tidak termasuk perbuatan manusia, sehingga manusia tidak akan diminta pertanggungjawaban atas terjadinya qadha, sebab bukan termasuk perbuatannya. Tetapi ia tetap akan ditanya tentang ridha dan marahnya terhadap qadha, karena hal itu termasuk perbuatannya.
Allah berfirman:
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (TQS. an-Najm [53]: 39)
Qadha dari Allah ini akan menjadi penebus atas dosa-dosa seseorang, dan sebagai sarana dihapuskannya kesalahan. Dalilnya sangat banyak, di antaranya hadits dari Abdullah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
Seorang muslim yang diuji dengan rasa sakit karena duri atau yang lebih dari itu, maka Allah pasti akan menebus kesalahankesalahannya karena musibah itu, sebagaimana suatu pohon menggugurkan daunnya. (Mutafaq ‘alaih).
Hadits yang lain adalah dari ‘Aisyah, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: Satu duri atau yang lebih dari itu, yang menimpa seorang mukmin, maka pasti dengan duri itu Allah akan mengurangi kesalahannya. Dalam satu riwayat dikatakan “naqushshu” artinya kami akan mengurangi. (Mutafaq ‘alaih).
Hadits dari Abû Hurairah dan Abû Sa’id, dari Nabi saw., bersabda: Setiap musibah yang menimpa seorang mukmin, berupa sakit yang berterusan, sakit yang biasa, kebingungan, kesedihan, kegundahan hingga duri yang menusuknya, maka pasti musibah itu akan menjadi penghapus bagi kesalahan-kesalahannya. (Mutafaq ‘alaih).
Dalam bab ini terdapat juga hadits senada dari Sa’ad, Muawiyah, Ibnu Abbas, Jabir, Ummu al-Ala, Abû bakar, Abdurrahman bin zhar, al-Hasan, Anas, Syadad, dan Abû Ubaidah ra.; dengan sanad-sanad ada yang baik dan ada yang shahih. Semuanya sampai kepada Nabi saw. (hadits marfu), yang isinya menyatakan bahwa “setiap ujian akan menggugurnya kesalahan”.
Hadits dari ‘Aisyah ra. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Seorang muslim yang tertusuk duri atau yang lebih dari itu, maka pasti Allah dengan musibah itu akan mengangkat satu derajat untuknya dan menggugurkan satu kesalahan darinya.
Dalam riwayat lain dikatakan: Maka pasti Allah dengan musibah itu akan mencatat satu kebaikan baginya.
Yang dimaksud dengan pahala di sini adalah pahala atas keridhaannya terhadap qadha dari Allah dan kesabarannya; Juga bersyukur dan tidak mengadukan musibahnya kecuali kepada Al lah. Banyak sekal i hadi ts yang menjelaskan batasan ini, di antaranya hadits riwayat Muslim dari Shuhaib, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
Sungguh mengagumkan urusan orang yang beriman, karena seluruh urusannya merupakan kebaikan baginya. Jika mendapatkan kesenangan ia bersyukur, maka syukur adalah kebaikan baginya. Jika ditimpa kesulitan ia bersabar, maka sabar itu merupakan kebaikan baginya. Hal seperti ini tidak akan didapati pada seseorang kecuali orang yang beriman.
Hadits riwayat al-Hâkim, ia menshahihkannya yang disepakati oleh adz-Dzahabi dari Abû Darda ra., ia berkata; aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman, “Wahai Isa!, sungguh aku akan mengi r im sua tu umat setel ahmu. J ika me reka mendapatkan perkara yang disukai, pasti akan memuji kepada Allah. Jika mereka mendapatkan perkara yang tidak disukai, mereka akan ikhlas menerimanya dan bersabar menghadapinya, padahal mereka tidak memiliki kepandaian dan ilmu.” Isa berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana itu bisa terjadi?” Allah berfirman, “Aku memberikan kepada merekasebagian dari kepandaian dan ilmu-Ku.”
Hadits riwayat ath-Thabrâni dengan isnad yang sehat dari cacat, dari Ibnu Abbas ra., ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: Siapa saja yang ditimpa musibah atas hartanya atau jiwanya, kemudian ia menyembunyikannya dan tidak mengadukan kepada manusia, maka Allah pasti akan mengampuninya.
Hadits riwayat al-Bukhâri dari Anas, ia berkata; aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, “Jika Aku menguji hambaku dengan dua mata yang buta, kemudian ia bersabar, maka Aku akan menggati kedua (mata)nya tersebut dengan surga baginya.
Hadits riwayat al-Bukhâri dalam al-Adab al-Mufrad, dari Abû Hurairah, ia berkata; Rasulullah bersabda: Seorang muslim yang tertusuk duri di dunia, ia ikhlas menerimanya, maka pasti ujian itu akan menjadi penyebab Allah melenyapkan kesalahan-kesalahnya di hari kiamat.
Pada pembahasan ini kita perlu menelaah kesabaran lebih dalam lagi, untuk menghilangkan kesalahpahaman pada sebagaian kaum Muslim tentang fakta dan makna sabar. Ada yang beranggapan, jika seseorang membatasi diri dan menjauhkan di r i dar i manus ia, meningga lkan kemunkaran dan para pelakunya; ia melihat keharamansudah merajalela, hukum-hukum Allah tidak diamalkan, dan jihad telah ditinggalkan. Pada kondisi seperti ini, ia tidak mengambi sikap untuk mengha-dapinya, bahkan ia menjauh dan meninggalkan aktivitas nahi munkar; maka yang seperti ini oleh sebagian orang dianggap sebagai orang
yang bersabar. Atau mereka memahami sabar sekadar menolak penindasan atas dirinya saja. Ia menghindari hal-hal yang mengakibatkan akan ditangkap oleh musuh-musuh Allah, sehingga ia tidak berani mengatakan kebenaran, tidak berani beramal untuk menggapai ridha Allah. Bahkan ia tetap diam, mengurung diri di tempat ibadah. Ia berkata tentang dirinya, “Aku adalah orang yang bersabar.”
Sabar seperti itu bukanlah sabar yang pelakunya dijanjikan surga oleh Allah Swt. seperti dalam firman-Nya: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (TQS. az-Zumar [39]: 10)
Sikap seperti itu adalah kelemahan. Rasulullah saw. Telah meminta perlindungan kepada Allah dari sifat tersebut. Beliau bersabda: Aku berlindung kepada Allah dari sifat lemah, dan malas; dari sifat kikir, bingung, kesedihan, dilanda hutang, dan dari paksaan orangorang kuat. Sabar yang sebenarnya adalah ketika kita mengatakan yang hak dan melaksanakannya. Siap menanggung resiko penderitaan di jalan Allah karena mengatakan dan mengamalkan kebenaran, tanpa berpaling, bersikap lemah, atau lunak sedikit pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar