Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dengan rata-rata 10 persen yang dimulai 1 Juli 2010 telah membuat sebagian besar rakyat Indonesia mengalami kebingungan ketika mendengar dinaikkannya harga tarif tersebut. Pasalnya hampir di sebagian besar sektor industri dan rumah tangga tergantung kepada energi listrik.
Bahkan, dalam masalah ibadah pun masyarakat sangat tergantung kepada adanya daya tersebut. Namun, ironisnya kenaikan TDL ini sebagaimana kejadian sebelumnya tidak diikuti dengan pelayanan publik yang memadai serta dalam upaya untuk meningkatkan keandalan listrik dan menambah daya. Karena, sering terjadinya pemadaman listrik. Baik terencana (terjadwal) maupun mendadak. Itu disebabkan karena PLN kekurangan daya, akibat mesin-mesinnya banyak yang sudah tua dan rusak, ketiadaannya biaya investasi, menyebabkan harus dilakukan overhaul, yang akhirnya merugikan masyarakat banyak dengan pemadaman listrik tersebut.
Sebagaimana diketahui teknologi listrik termasuk teknologi tinggi banyak alat-alat yang masih harus diimpor dan harganya mahal. Padahal APBN terbatas. Akibatnya, kenaikan Tarif Dasar Listrik secara periodik (rutin) menjadi pilihan. Kenaikan ini sebenarnya sudah berlangsung berkali-kali sejak zaman Soeharto hingga masa Susilo Bambang Yudhoono (SBY).
Saat ini pun pemerintah telah memastikan akan menaikkan kembali Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk yang ke sekian kalinya. Tepatnya pada bulan Juli tahun 2010. Lebih dari itu, karena keterbatasan PLN untuk memasok ketersediaan listrik, pemerintah mengundang swasta untuk ikut membangun fasilitas pembangkit dan transmisi.
Swasta menjawab undangan ini dengan meminta kontrak karya (keharusan PLN membeli listrik mereka, tentu dengan harga lebih mahal). Ini pun sudah berlangsung lama. Akibatnya, dalam perkembangan selanjutnya, PLN tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam kelistrikan. Apalagi UU Listrik yang disahkan baru-baru ini memberikan peluang lebih lebar lagi kepada pihak swasta/asing untuk bersaing dengan PLN dalam penyediaan listrik. Termasuk dalam proyek penyediaan listrik 10.000 MW.
Konsekuensinya, listrik benar-benar menjadi barang ekonomi. Apalagi pemerintah akan terus mengurangi subsidi bagi PLN.
Solusi Ekonomi Konvensional Pengamat ekonomi di Indonesia sudah banyak yang berpendapat, bahwa mengalihkan beban biaya produksi listrik yang tinggi kepada rakyat melalui kenaikan TDL (yang tidak diikuti pelayanan yang baik) bukanlah satu-satunya alternatif solusi dan juga bukan solusi terbaik. Masih ada alternatif lain yang lebih baik, yaitu mengevaluasi kembali kinerja PLN itu sendiri.
PLN saat ini dikenal sebagai perusahaan yang memiliki kinerja dengan 3 kombinasi yang tidak logis, yaitu: sudah disubsidi, tarifnya mahal, rugi lagi. Kombinasi yang dianggap logis menurut logika ekonomi konvensional adalah: disubsidi, rugi, dan tarifnya murah; atau kombinasi yang lain yaitu: disubsidi, untung, dan tarifnya mahal.
Paling tidak, ada 3 sumber masalah yang menyebabkan terjadinya kombinasi tidak logis pada PLN tersebut, yaitu:
1. Banyak terjadi korupsi di tubuh PLN.
2. Ketidakefesienan dalam pengelolaan PLN.
3. Pengadaan listrik swasta melalui sejumlah konsorsium, yang mengharuskan PLN membeli listriknya dengan harga yang mahal.
Oleh karena itu, jika 3 sumber masalah dalam tubuh PLN tersebut dapat diatasi manajemen PLN yang ada sekarang ini dan tentu saja dengan dukungan politik yang kuat oleh pemerintah, maka opsi kenaikan TDL dapat dihindari. Solusi tersebut adalah solusi yang banyak ditawarkan oleh pakar-pakar ekonomi konvensional saat ini, yang senantiasa berujung pada 2 kalimat besar, yaitu penghapusan korupsi dan pengelolaan perusahaan yang lebih efesien. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah solusi di atas sudah merupakan solusi terbaik?
Akar Masalah: Pendekatan 'Dagang' teori-teori ekonomi konvensional yang berkembang saat ini tidak pernah keluar dari kerangka ideologi Kapitalisme. Inti ajaran Kapitalisme dalam persoalan ekonomi yang paling 'saklar' adalah ekonomi pasar bebas. Pengelolaan ekonomi yang paling baik adalah pengelolaan ekonomi yang diserahkan kepada pihak swasta melalui mekanisme pasar bebas-nya. Semakin sedikit negara ikut campur dalam urusan ekonomi, maka akan semakin baik ekonomi negara tersebut (Deliarnov, 1997 Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Rajawali Press,
Jakarta).
Itulah paham yang selama ini menjadi 'penjara' bagi segenap pengembangan teori ekonomi konvensional. Akibatnya, tidak pernah ada solusi yang 'berani' keluar dari pemikiran ekonomi di atas. Landasan paham seperti ini pulalah yang dijadikan 'dalil' oleh pihak IMF dan Bank Dunia untuk memaksa Indonesia agar terus-menerus melakukan liberalisasi ekonomi di semua sektornya. Termasuk sektor listrik.
Satu per satu perusahaan milik negara 'dipreteli' melalui program privatisasi dan divestasi sehingga menjadi milik swasta, yang ujung-ujungnya tidak lain adalah swasta asing, yaitu para kapitalis kelas dunia. Akibatnya penjajahan mereka atas negara-negara seperti Indonesia ini tetap bisa dilestarikan.
Perubahan status PLN dari perusahaan jawatan yang lebih berorientasi pada pelayanan menjadi PT yang lebih berorientasi laba/ profit, yang sahamnya boleh dibeli oleh pihak swasta mana pun. Demikian juga munculnya listrik swasta yang mengharuskan PLN membeli 'strum'-nya dengan harga yang mahal, merupakan bagian dari skenario ekonomi kapitalis.
Oleh karena itu akar permasalahannya tidak hanya sekadar apakah PLN sudah terbebas dari segala bentuk korupsi atau tidak. Termasuk juga apakah PLN sudah efesien dalam pengelolaanya atau belum. Tidak hanya sekadar itu. Persoalan yang lebih mendasar adalah status PLN yang berbentuk PT dan berorientasi pada profit tersebut dapat dibenarkan atau tidak? Juga keberadaan swasta. Apakah bisa dibenarkan atau tidak? Inilah titik persoalannya.
Dalam teori ekonomi syariah Islam, harta kekayaan yang ada di muka bumi mempunyai kejelasan status kepemilikan. Hal ini tidaklah seperti teori ekonomi kapitalis yang memandang bahwa seluruh harta kekayaan di muka bumi bebas dimiliki oleh individu.
As-Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menyebutkan bahwa status kepemilikan harta dalam Islam dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu: pertama, kepemilikan individu. Kedua, kepemilikan umum. Ketiga, kepemilikan negara. (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizhom al-Iqtishadi fi al-Islam). Dan, listrik merupakan bagian dari energi (api) yang merupakan kepemilikan umum; yakni penetapan negara sebagai wakil rakyat untuk mengatur produksi dan distribusi energi tersebut untuk kepentingan rakyat.
Rasulullah SAW bersabda: Manusia berserikat dalam tiga hal: air, hutan, dan api
(energi). (HR Abu Dawud). Hadis tersebut memberikan pengertian pada sarana umum. Tentu saja sarana umum tidak terbatas pada ketiga jenis barang di atas. Sarana umum ini menurut Islam, adalah milik umum dan tidak boleh dikuasai oleh pribadi atau swasta. Oleh karena itu, langkah melakukan privatisasi PLN sejak 10 tahun lalu tidak bisa dibenarkan menurut hukum Islam. Sebab, dengan privatisasi itu berarti negara menjual barang/ aset yang bukan miliknya.
Bumi, air, sungai, lautan, tambang-tambang, hutan, jalan-jalan, dan segala sarana dan prasarana umum, termasuk yang dikelola PLN adalah milik umum kaum Muslim. PLN sebagai alat negara adalah hanya pemegang amanah untuk mengelola harta milik umum. Karena itu, dalam kasus ini, manakala memang PLN tidak bisa diefisienkan lagi, maka subsidi harus dipertahankan bahkan ditingkatkan (dengan laba PLN sama dengan nol) agar mendapatkan harga TDL termurah (bahkan jika bisa gratis) bagi mayarakat umum pengguna listrik rumah tangga.
Subsidi dari mana? Dari hasil eksploitasi hutan, lautan, tambang-tambang minyak, gas, dan barang-barang tambang lainnya. Dengan itu ada harapan TDL turun dan rakyat hidup lebih sejahtera. Namun demikian jika dalam keadaan tertentu (suatu misal) negara benar-benar tidak mampu untuk mengelola dan mengoperasikan sendiri pengadaan listrik bagi rakyatnya, maka dalam pandangan Islam, negara boleh menyerahkannya kepada pihak swasta, dengan catatan, status pihak swasta tersebut hanya sebagai pekerja yang dibayar dengan akad ijarah ajir oleh Negara.
Dengan demikian, jika rakyat harus membayar listrik, itu hanya sekadar untuk menutup biaya operasional atau biaya produksi saja. Pemerintah tetap tidak boleh mengambil untung dari aktivitas pelayanan listrik bagi rakyatnya (Abdurrahman al-Maliki, 2001, Politik Ekonomi Islam).
'Agar Listrik Murah' sesungguhnya persoalan listrik tidaklah berdiri sendiri. Ia tentu terkait dengan sumber-sumber energi lain, yaitu BBM, batubara, gas, tenaga air, tenaga panas bumi, tenaga matahari, tenaga nuklir, dan sebagainya. Seluruh sumber energi tersebut harus tetap didudukkan sebagai kepemilikan umum atau rakyat. Oleh karena itu, peran pemerintah hanya satu, yaitu bagaimana agar hak milik rakyat tersebut dapat dinikmati untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, dengan semurah-murahnya bahkan jika bisa gratis.
Islam memberikan prinsip pengelolaan bagi pemerintah, yakni memberikan kemudahan bukan memberi kesulitan pada masyarakat. Rasulullah SAW bersabda, tatkala beliau berpesan kepada dua orang gubernur baru yang akan memerintah di Yaman: Mudahkanlah mereka dan janganlah kalian persulit (HR al-Bukhari dan Muslim). Dengan demikian, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah yang memang telah menjadi wakil rakyat untuk mengurusi seluruh urusan mereka. Termasuk dalam hal ini pengelolaan listrik yang telah menjadi tanggung jawab mereka.
Negara harus benar-benar mengupayakan berjalannya secara optimal pengelolaan listrik tersebut karena rakyat sangat membutuhkannya. Dari semua itu, bila pemerintah mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam niscaya listrik murah dapat dinikmati oleh rakyat karena persoalan listrik hanya bisa diselesaikan dengan solusi penerapan syariah Islam dalam seluruh tatanan kehidupan masyarakat dan negara.
Andi Perdana Gumilang S Pi
Pengamat dan Ketua MT Almarjan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB 2007-2008, Tim Laboratorium Syiar BKIM IPB
Email: andi.sangpenakluk@gmail.com
web: www.bkimipb.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar